Klaim Terbaru Sri Mulyani: Kemiskinan Turun, Kesejahteraan Warga RI Meningkat!

- Rabu, 30 Juli 2025 | 08:40 WIB
Klaim Terbaru Sri Mulyani: Kemiskinan Turun, Kesejahteraan Warga RI Meningkat!


Kendati demikian, Syafruddin mewanti-wanti agar keberhasilan itu berpijak pada fondasi yang jujur dan akurat.


Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas itu menentang budaya manipulasi data. 


Ia menegaskan pemerintah tak boleh bermain angka atau sekadar mempercantik statistik demi kepuasan elite.


Syafruddin menyoroti kredibilitas BPS selaku badan yang mengumpulkan dan melaporkan data-data penting di Indonesia, termasuk masalah kemiskinan. 


Ia mengatakan ada perbedaan mencolok antara angka resmi BPS dan temuan Bank Dunia.


"Budaya manipulasi data 'Asal Bapak Senang (ABS)' justru akan menghancurkan kredibilitas negara di hadapan rakyat dan dunia internasional," tegasnya.


"Ketika Indonesia mengklaim tingkat kemiskinan ekstrem tinggal satu digit, Bank Dunia mencatat lebih dari 60 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan global. Publik mulai curiga bahwa statistik telah direkayasa. Jika pemerintah ingin membuktikan keseriusan, maka transparansi, kesesuaian standar, dan verifikasi independen harus menjadi bagian dari strategi utama," desak Syafruddin.


Direktur Next Policy Yusuf Wibisono mengapresiasi BPS sudah mau meninggalkan garis kemiskinan ekstrem US$1,90 per kapita per hari. 


Kendati, ia menegaskan itu masih belum ideal. Bank Dunia bahkan sudah menaikkan PPP menjadi US$3 per kapita per hari pada Juni 2025.


Ia menghitung kemiskinan ekstrem Indonesia justru bengkak jika mengacu standar baru World Bank. 


Yusuf mencatat jumlahnya melambung hingga 8,55 persen pada Maret 2025.


"Target kemiskinan ekstrem 0 persen pada 2029 terlalu mudah diraih karena adopsi garis kemiskinan ekstrem yang terlalu rendah. Karenanya, target kemiskinan ekstrem 0 persen pada 2029 ini dapat disebut sebagai bentuk 'manipulasi politik', di mana target yang terlihat gagah dipilih karena lebih mudah diraih dengan penggunaan standar kemiskinan yang lebih rendah," analisa Yusuf.


"Ukuran kemiskinan yang lebih tinggi, selain lebih relevan untuk Indonesia yang kini telah naik kelas menjadi upper-middle income country, juga akan memberi implikasi penting untuk formulasi strategi pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif," sambungnya.


Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda ikut menyoroti praktik 'Asal Bapak Senang' yang membuat jurus-jurus Presiden Prabowo justru tak ampuh memberantas kemiskinan.


Salah satu contoh nyata kegagalan pemerintah adalah memperbaiki penyaluran bantuan sosial (bansos). Huda menyebut setidaknya ada 2 masalah utama terkait bansos di Indonesia.


Pertama, exclusion error. Ini membuat orang yang seharusnya memperoleh bansos malah tidak mendapatkan hak tersebut.


Kedua, inclusion error. Huda mengatakan ada juga temuan mengenai masyarakat yang seharusnya tidak dapat justru mengantongi bansos dari pemerintah.


"Keduanya berawal dari data yang tidak valid dan tidak menggunakan data tunggal. Maka dari itu, yang paling utama adalah data harus diperbaiki. Data Registrasi Sosial Ekonomi BPS harusnya bisa digunakan untuk melihat data orang miskin by name by address. Dan paling penting adalah menggunakan standar internasional, tidak 'Asal Bapak Senang'," tuturnya.


Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan tantangan pengentasan kemiskinan juga muncul dari pekerja sektor informal yang mendominasi hingga lebih dari 55 persen.


Ini membuat mayoritas pekerja berada dalam kategori rentan terhadap guncangan ekonomi, baik dari sisi upah, perlindungan sosial, sampai stabilitas pekerjaan.


Ia menilai pekerjaan rumah terbesar Presiden Prabowo dan para pembantunya sekarang adalah membenahi kualitas intervensi sosial dan ekonomi. 


Yusuf menegaskan aksi ini mesti dibarengi akurasi basis data.


"Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang digunakan sebagai acuan penyaluran bansos kerap mendapat kritik karena masih menyisakan eksklusi dan inklusi eror. Tanpa pembaruan data yang lebih akurat dan dinamis, penargetan program perlindungan sosial rawan tidak tepat sasaran, terutama bagi kelompok miskin ekstrem yang cenderung tidak terdata secara formal," jelasnya.


Yusuf juga mewanti-wanti efektivitas instrumen lain yang dipakai pemerintah, seperti program padat karya, bantuan tunai bersyarat, dan pemberdayaan ekonomi mikro. 


Menurutnya, poin-poin tersebut masih sangat bergantung pada desain program dan koordinasi lintas sektor.


Ia melihat Danantara punya celah untuk mulai mengambil peran dalam membantu Prabowo menghilangkan kemiskinan ekstrem di Indonesia. Walau, peran tersebut belum bakal ampuh 100 persen.


"Investasi melalui badan seperti Danantara bisa menjadi pelengkap, tetapi belum cukup untuk menjangkau akar masalah kemiskinan ekstrem, terutama di wilayah terpencil dan kelompok rentan struktural," tutup Yusuf.


Sumber: CNN

Halaman:

Komentar