Setiap era politik selalu melahirkan simbol yang merefleksikan kondisi hukum dan demokrasi kita. Nama Harun Masiku menjadi ikon buram dalam ingatan publik: seorang kader PDIP yang terjerat kasus suap, namun hingga kini menghilang bak ditelan bumi. Kasus itu bukan sekadar soal individu, melainkan tentang bagaimana hukum bisa lumpuh di hadapan kepentingan politik.
Kini, publik menemukan cerminan serupa di tubuh Gerindra lewat nama Nistra Yohan, staf ahli anggota Komisi I DPR, yang disebut menerima Rp70 miliar dalam kasus proyek BTS 4G Kominfo. Sama seperti Harun, Nistra kini menghilang dari radar penegakan hukum.
Persamaan pola inilah yang memantik opini publik: bila PDIP punya Harun Masiku, maka Gerindra punya Nistra Yohan. Analogi ini bukan untuk saling menegasikan kesalahan, melainkan menegaskan bahwa dua kasus berbeda ini memperlihatkan pola impunitas yang sama: ketika figur kunci hilang, hukum kehilangan babak akhir.
Pola yang Berulang: Dari PAW ke BTS 4G
-Harun Masiku: Terseret kasus suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR, buron sejak 2020, dan hingga kini belum ditemukan. Skandal ini menyeret nama Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang akhirnya divonis, meski belakangan mendapat amnesti dari Presiden Prabowo.
-Nistra Yohan: Nama ini mencuat di persidangan proyek BTS 4G, disebut menerima Rp70 miliar untuk urusan Komisi I DPR. Ia staf ahli seorang anggota DPR dari Gerindra Sugiono yang saat ini menjadi Menteri Luar Negeri. Namun, hingga kini keberadaannya tidak jelas. Panggilan hukum tak berujung kehadiran.
Kedua kasus itu menghadirkan pola yang sama: ada tokoh perantara uang dan kekuasaan yang menghilang, membuat perkara hukum pincang dan publik frustrasi.
Absennya figur kunci seperti Harun dan Nistra menciptakan tiga persoalan serius:
1. Asimetri penegakan hukum: Aktor-aktor lain dihukum, tetapi pusat pusaran dana hilang. Ini mengaburkan peta besar korupsi.
2. Lemahnya instrumen paksa: Upaya cegah-tangkal, red notice, dan mekanisme jemput paksa tidak jelas progresnya, membuat publik meragukan keseriusan penegak hukum.
3. Terganggunya fungsi edukasi hukum: Tanpa menghadirkan aktor kunci, hukum gagal menjadi sarana pendidikan publik tentang integritas dan akuntabilitas.
Kasus ini menunjukkan bagaimana hukum di Indonesia masih kerap kalah oleh manuver politik, sehingga panggung pengadilan kehilangan pemeran utama.
Partai politik, sebagai kendaraan kekuasaan, ikut terbebani oleh kasus yang menjerat kader atau staf dekatnya. Publik kini melihat:
-PDIP belum bisa menuntaskan utang sejarah menghadirkan Harun Masiku.
-Gerindra kini diuji lewat keberadaan Nistra Yohan.
Pertanyaan publik sederhana: apakah partai benar-benar berkomitmen pada integritas hukum, atau justru membiarkan kasus-kasus itu menguap? Ketidakjelasan jawaban akan berujung pada erosi kepercayaan pemilih, terutama mereka yang kritis terhadap praktik impunitas.
Angka fantastis Rp70 miliar yang disebut mengalir ke Nistra Yohan tidak bisa dipandang sebagai kasus individu. Jumlah sebesar itu mengindikasikan:
-Politik akses yang mahal: akses kepada pengaruh di Komisi I DPR bernilai sangat tinggi.
-Jaringan sistemik: jumlah besar hampir pasti melibatkan banyak aktor dan tujuan kebijakan.
-Rente kebijakan: proyek publik yang seharusnya untuk rakyat dijadikan ladang rente.
Tanpa menghadirkan Nistra, aliran dana jumbo ini akan tetap menjadi misteri yang merusak kredibilitas negara.
Apa yang harus dilakukan negara?
-Penegak hukum harus transparan: umumkan timeline pencarian, pemanggilan, hingga red notice.
-Partai wajib proaktif: PDIP dan Gerindra harus membantu menghadirkan orang-orang terkait, bukan sekadar mengeluarkan pernyataan normatif.
-DPR membenahi kode etik: tenaga ahli dan staf wajib tunduk pada audit etik dan deklarasi konflik kepentingan.
-Presiden konsisten pada hukum: penggunaan hak amnesti/abolisi harus memiliki standar jelas, bukan sekadar alat rekonsiliasi politik.
Analogi Harun Masiku dan Nistra Yohan adalah alarm keras bahwa hukum kita masih mudah tumpul ketika berhadapan dengan figur yang punya jejaring politik. Bila negara gagal menghadirkan keduanya ke persidangan, maka demokrasi kita akan terus berjalan pincang. Publik tidak butuh janji, publik menuntut babak akhir: penuntasan kasus, pengungkapan arsitektur korupsi, dan pemulihan kepercayaan pada hukum.
Oleh: Muslim Arbi
Pengamat politik dan hukum
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan PARADAPOS.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi PARADAPOS.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
5 Fakta Baru Kematian Arya Daru Versi Keluarga: Dapat Kiriman Gabus Putih Misterius, Istri Telpon Polisi 7 Kali
Alasan UGM Tolak Buka Data Pendidikan Jokowi Karena Dilindungi UU KIP, Apa Itu?
Membongkar BLBI dan BCA GATE: Kontroversi Privatisasi Bank di Indonesia
HEBOH! Kampus UI Kecolongan Undang Profesor Keturunan Yahudi Pro Israel? Berikut Penelusurannya