Mens Rea dan Keadilan: Menelisik Niat di Balik Kasus Kuota Tambahan Haji 2024

- Senin, 25 Agustus 2025 | 11:00 WIB
Mens Rea dan Keadilan: Menelisik Niat di Balik Kasus Kuota Tambahan Haji 2024


Mens Rea dan Keadilan: 'Menelisik Niat di Balik Kasus Kuota Tambahan Haji 2024'


BEBERAPA hari lalu publik pernah dihebohkan oleh pernyataan ”seloroh” Tom Lembong yang dikutip banyak media. Yaitu, ”karena kasus saya, se-Indonesia tahu apa itu mens rea.” 


Meski disampaikan dengan nada humor, pernyataan itu menyinggung salah satu prinsip paling fundamental dalam hukum pidana. Yakni, mens rea (niat atau sikap batin seseorang saat melakukan suatu perbuatan). 


Prinsip itu membedakan tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan (intentional), kelalaian (negligence), atau murni kecelakaan (Simester & Sullivan, 2019).


Tulisan ini saya buat untuk bahan diskusi dan edukasi publik agar publik menjadi lebih melek hukum sekaligus sebagai bahan refleksi dan referensi dalam melakukan tindakan yang berkaitan dengan hukum.


MEMAHAMI KONSEP MENS REA


Secara sederhana, mens rea adalah guilty mind (niat jahat) yang menyertai actus reus atau perbuatan melawan hukum (Ashworth, 2016). Dalam hukum pidana modern, pertanggungjawaban pidana menuntut terpenuhinya dua unsur. 


Yaitu, actus reus (tindakan nyata yang melanggar hukum) dan mens rea (niat, kesengajaan, atau sikap batin tercela saat melakukan tindakan tersebut).


Konsep itu penting untuk membedakan antara ”pelanggaran yang disengaja” dan ”kesalahan yang tidak disengaja”. Tanpa analisis mens rea, hukum berisiko menjadi kaku dan hanya prosedural, yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan substantif (Fletcher, 2000).


RELEVANSI MENS REA DALAM KEBIJAKAN PUBLIK


Walau berakar pada hukum pidana, mens rea memiliki relevansi dalam kebijakan publik. Kebijakan yang melanggar hukum administrasi bisa saja tidak mengandung niat jahat. 


Namun, jika pembuat kebijakan sadar bahwa keputusannya bertentangan dengan hukum dan tetap melakukannya untuk keuntungan tertentu, unsur mens rea terpenuhi (Roberts & Zuckerman, 2010).


Dalam konteks tata kelola pemerintahan, pengujian mens rea pada pembuat kebijakan dapat menjadi alat evaluasi akuntabilitas publik (Peters & Pierre, 2016).


KASUS KUOTA TAMBAHAN HAJI 2024


Terkait kasus tambahan kuota haji sebanyak 20.000 dari Arab Saudi pada musim haji 2024 yang dibagi 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus, yang berbeda dari amanat UU Nomor 8 Tahun 2019 yang menetapkan proporsi 92:8, maka muncul pertanyaan hukum. 


Apakah perubahan itu semata kesalahan administratif? Apakah murni diskresi untuk kepentingan pelayanan jamaah? Atau, terdapat niat tertentu yang bertentangan dengan hukum?


Jika ada kesadaran bahwa kebijakan itu melanggar undang-undang dan dilakukan demi keuntungan pihak tertentu, mens rea dapat dikatakan ada. Jika tidak ada niat jahat, secara pidana mens rea tidak terpenuhi walaupun ada actus reus dalam bentuk pelanggaran norma administratif.


DISKRESI MENTERI AGAMA DAN IMPLIKASI HUKUMNYA

Halaman:

Komentar