Dalam hukum administrasi negara, diskresi adalah kewenangan mengambil keputusan di luar aturan baku untuk kepentingan umum (UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pasal 1 angka 9).
Namun, diskresi harus memenuhi syarat yang meliputi: tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dilakukan untuk kepentingan umum, dan dilaksanakan secara proporsional (Hernowo, 2019).
Kasus kuota tambahan haji 2024 menimbulkan pertanyaan: apakah pembagian kuota cukup diatur melalui surat keputusan (SK) menteri atau seharusnya dituangkan dalam peraturan menteri (permen) yang diundangkan di lembaran negara?
Berdasar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perubahan substansial terhadap pengaturan yang diatur dalam undang-undang harus dituangkan dalam peraturan perundangan yang setingkat atau di bawahnya sesuai hierarki, yaitu peraturan menteri (permen). Permen harus mendapat pengesahan menteri hukum dan diundangkan dalam berita negara agar berlaku sah (Maria Farida, 2017).
SK menteri, secara hukum, hanya bersifat beschikking atau keputusan konkret individual, bukan norma umum yang mengubah proporsi pembagian kuota.
Karena itu, jika proporsi kuota 92:8 diubah menjadi 50:50, secara teori hukum administrasi, hal itu semestinya diatur dalam permen, bukan dengan SK. Jika dilakukan hanya dengan SK, terdapat risiko ultra vires atau tindakan di luar kewenangan formal (Ridwan HR, 2020).
MENS REA, DISKRESI, DAN GOOD GOVERNANCE DALAM TATA KELOLA HAJI
Prinsip good governance (transparansi, akuntabilitas, supremasi hukum, efektivitas, dan partisipasi) merupakan standar global tata kelola haji (World Bank, 2017).
Diskresi yang selaras dengan prinsip itu dapat mempercepat pelayanan publik, tetapi diskresi yang melanggar hukum dan mengandung niat menyimpang dapat merusak kepercayaan publik (Rosenbloom et al., 2015).
Apa kaitannya dengan mens rea? Secara sederhana, kaitan antara diskresi dan mens rea dapat dirumuskan secara singkat sebagai berikut.
Pertama, diskresi tanpa mens rea jahat: diskresi menteri untuk mengubah pembagian kuota bisa dibenarkan secara moral jika untuk kepentingan jamaah dan sesuai prosedur.
Kedua, diskresi dengan mens rea jahat: diskresi menjadi alat penyalahgunaan wewenang jika ada niat untuk menguntungkan pihak tertentu atau mengabaikan hukum dengan sadar.
Pengabaian prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan dapat menjadi indikasi adanya mens rea dalam bentuk willful disregard terhadap hukum (Hall, 2015).
Kasus ini mengajarkan bahwa penegakan hukum terhadap pejabat publik memerlukan analisis tiga lapis, yaitu unsur formil (actus reus): apakah ada pelanggaran hukum tertulis?
Lalu, unsur materiil (mens rea): apakah ada niat jahat di balik keputusan?
Terakhir, kepatuhan prosedural diskresi: apakah diskresi dijalankan sesuai hierarki dan prosedur peraturan perundang-undangan?
Bagi publik, pemahaman itu mencegah reaksi emosional yang berlebihan. Juga, menghindarkan sikap permisif terhadap penyalahgunaan wewenang. ***
Sumber: Disway
Artikel Terkait
WPS Office Download: 9 Alasan Utama Mengapa Pengguna Memilihnya
Buaya Raksasa 7 Meter di Inhil Mati, Isi Perutnya Sampah Plastik hingga Pisau
Kasus Alvaro Bocah Hilang Tewas: Ayah Tiri AI Ditangkap Usai 8 Bulan Pencarian
Inara Rusli Dilaporkan ke Polisi oleh Wardatina Mawa, Begini Reaksi dan Faktanya