Kemana Arah Seruan Moral UGM: Menuding Jokowi atau Menegur Prabowo?
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Seruan moral yang dikeluarkan civitas Universitas Gadjah Mada (UGM) atas maraknya gelombang aksi massa di berbagai kota besar Indonesia bukanlah sekadar pernyataan simpatik.
Pernyataan tersebut lahir dari keprihatinan mendalam terhadap eskalasi kekerasan, anarkisme, serta korban jiwa yang terus berjatuhan.
Namun, lebih dari itu, seruan ini memiliki muatan politik yang implisit: menegur negara, menantang legitimasi kebijakan, dan mempertanyakan arah kepemimpinan nasional.
1. Jokowi: Produk Kumulatif dari Kebijakan yang Bermasalah
Jika dicermati, poin-poin seruan UGM secara eksplisit menyinggung kebijakan pemerintah dan DPR yang dianggap “tidak berpihak pada keadilan, menambah kesenjangan, dan menguntungkan kelompok oligarki.”
Ungkapan ini seakan mengarah langsung pada kebijakan struktural era Jokowi.
Dalam satu dekade kepemimpinannya, Jokowi melahirkan banyak produk hukum dan kebijakan kontroversial: UU Cipta Kerja yang berpihak pada modal besar, pelemahan KPK, pembangunan IKN yang menyedot anggaran di tengah krisis, hingga praktik politik dinasti yang menimbulkan kekecewaan rakyat.
Semua ini adalah akumulasi yang menumpuk rasa frustrasi publik, dan kini meledak menjadi gelombang protes.
Dengan kata lain, UGM menyoroti akar masalah: produk kumulatif dari pemerintahan Jokowi yang gagal mengelola demokrasi dan keadilan sosial.
2. Prabowo: Pemimpin Baru yang Tak Mampu Mengendalikan
Namun, seruan itu juga tidak bisa dilepaskan dari konteks transisi kekuasaan. Setelah resmi menjabat, Prabowo Subianto kini menjadi sosok yang bertanggung jawab atas keamanan nasional.
UGM menegaskan agar Polri dan TNI “mendengarkan aspirasi masyarakat” dan “bertindak akuntabel.” Ini jelas pesan langsung kepada rezim baru yang sedang berkuasa.
Prabowo ditantang untuk membuktikan kapasitasnya sebagai pemimpin.
Namun realitas di lapangan menunjukkan ketidakmampuan mengendalikan situasi: unjuk rasa berubah menjadi kerusuhan, aparat dituding represif, dan keresahan sosial semakin meluas.
Kritik UGM bisa dibaca sebagai penilaian awal: Prabowo tak becus memimpin dan hanya mewarisi problem Jokowi tanpa solusi yang nyata.
3. UGM sebagai Cermin Moral Publik
Tradisi kampus seperti UGM selalu memposisikan diri sebagai penjaga nurani bangsa.
Pernyataan ini bukan sekadar kritik teknis, melainkan peringatan moral bahwa bangsa sedang berada di jalan yang berbahaya. Ketika seruan dikeluarkan, publik membaca dua arah tudingan:
Ke belakang (Jokowi): kegagalan akumulatif selama 10 tahun yang kini berbuah keresahan massal.
Ke depan (Prabowo): kegagalan awal dalam menunjukkan kendali, kapasitas, dan respons kepemimpinan.
4. Simpulan: Tudingan Ganda, tapi dengan Arah Berbeda
Jika dianalisis, seruan moral UGM lebih banyak menyinggung produk kumulatif rezim Jokowi sebagai akar masalah.
Namun, secara bersamaan, UGM juga meletakkan beban pada Prabowo untuk mengendalikan situasi dan mengoreksi kebijakan yang bermasalah.
Dengan kata lain:
- Jokowi disalahkan karena meninggalkan warisan bobrok.
- Prabowo dituding karena gagal menunjukkan kapasitas pemimpin pada momen krusial.
UGM tidak memihak salah satu, tetapi seruan ini dapat dibaca sebagai teguran moral bagi dua rezim sekaligus: satu yang meninggalkan krisis, satu lagi yang tidak mampu meredamnya.
Artikel Terkait
Mahasiswa Tuntut Pengesahan RUU Perampasan Aset
DAFTAR 7 Korban Meninggal Dunia Periode Demo 28 - 31 Agustus 2025
Sandy Pas Band Minta Publik Setop Sebar Nilai Ijazah Ahmad Sahroni: Rata-rata 6 bisa Jadi Anggota DPR
Indonesia Diguncang Demo Anarkis, Prabowo: Demi Allah Saya Tak Akan Mundur!