REFLEKSI: 'Jokowi dan 10 Tahun Rezim Maling di Indonesia'
Oleh: Radhar Tribaskor
Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)
Korupsi adalah penyakit lama dalam politik Indonesia. Hampir semua rezim penguasa tidak luput darinya.
Tetapi, kapan suatu rezim layak disebut sebagai rezim maling, sebuah kleptokrasi?
Sebuah rezim dapat disebut demikian bila korupsi tidak hanya terjadi secara masif, dilindungi—bahkan dilahirkan—oleh penguasa itu sendiri, dan berjalan sebagai logika rejim itu sendiri..
Ironisnya, kleptokrasi di Indonesia bukan lahir dari niat jahat yang dirancang sejak awal, melainkan sebagai konsekuensi tak terduga dari sistem politik yang dibangun setelah Reformasi 1998. Reformasi itu sendiri lahir sebagai revolusi tanpa senjata.
Ia dipicu oleh amarah rakyat, keputusasaan terhadap rezim lama, sekaligus keyakinan bahwa demokrasi bisa membersihkan politik Indonesia dari noda KKN—korupsi, kolusi, dan nepotisme—yang selama tiga dekade menjadi ciri khas Orde Baru.
Pada awalnya, harapan itu begitu besar. Setiap langkah kecil terasa monumental. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (2002) disambut bak tonggak sejarah.
Ketika pejabat tinggi ditangkap, partai besar dipermalukan, dan pengadilan berjalan terbuka, rakyat bersorak seolah sejarah benar-benar berpihak kepada mereka.
Namun, janji itu perlahan pudar. Reformasi memang membuka ruang demokrasi, tetapi pada saat yang sama menyediakan panggung lebih luas bagi oligarki untuk beradaptasi.
Sistem multipartai dan pemilu langsung yang diharapkan menjadi mekanisme partisipasi rakyat, justru berubah menjadi lahan subur bagi patronase, transaksi politik, dan aliran uang gelap.
Dua dekade setelah Soeharto tumbang, bangsa ini mendapati kenyataan pahit: korupsi tidak menyusut, tetapi justru tumbuh lebih besar, lebih dalam, dan semakin sistemik.
Era SBY: Cahaya yang Meredup
Masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014) kerap disebut sebagai era “setengah jalan”. Di satu sisi, KPK bersinar terang.
Dalam satu dekade, publik menyaksikan pemandangan yang sebelumnya tak terbayangkan: seorang menteri aktif digelandang ke tahanan, gubernur jatuh satu demi satu, bahkan ketua partai besar dijerat hukum.
Dunia pun memuji Indonesia; pemberantasan korupsi kita disebut salah satu yang paling progresif di dunia berkembang.
Tetapi kenyataan di lapangan jauh lebih rumit. Skandal besar seperti Bank Century dengan kerugian sekitar Rp 6,7 triliun mengguncang kepercayaan publik. Kasus Hambalang menunjukkan betapa proyek negara bisa menjadi arena perburuan rente.
Laporan BPK pada periode itu mencatat kerugian negara mencapai puluhan triliun, sementara ICW mendata ratusan anggota DPR/DPRD dan puluhan kepala daerah terseret kasus.
SBY menghadapi dilema mendasar. Di satu sisi, ia membiarkan KPK bekerja keras. Namun di sisi lain, ia tetap presiden dari sistem politik yang terkunci oleh partai dan koalisi.
Ia butuh dukungan politik untuk memerintah, dan kompromi menjadi jalan yang ditempuh. Hasilnya, KPK memang kuat, tetapi akar korupsi tidak pernah tercabut.
Jokowi: Dari Kesederhanaan ke Poros Oligarki
Ketika Joko Widodo muncul pada 2014, ia membawa aura berbeda. Ia datang sebagai “anak rakyat biasa”—bukan jenderal, bukan elite partai lama, bahkan sempat dianggap orang luar.
Rakyat menaruh harapan besar: mungkin inilah presiden yang benar-benar bersih, lahir dari kesederhanaan, dan bebas dari beban oligarki lama.
Namun sepuluh tahun kemudian, bayangan yang tampak justru lain.
Jokowi bukan hanya menjadi bagian dari oligarki, melainkan poros konsolidasi oligarki itu sendiri. Hampir semua partai besar masuk ke dalam koalisinya.
Oposisi yang seharusnya menjadi penyeimbang nyaris tak ada. Ruang politik yang kosong dari kritik itu menjadi ladang subur bagi korupsi untuk tumbuh tanpa kendali.
Dan di titik inilah, Indonesia mendapati dirinya berada di ambang rezim kleptokrasi.
Megakorupsi Tanpa Preseden
Perbedaan paling mencolok antara era SBY dan Jokowi terletak pada skala. Jika di masa SBY nilai kerugian negara masih berkisar puluhan triliun, di masa Jokowi korupsi melonjak ke level ratusan triliun.
Beberapa kasus mencatat rekor sejarah:
– Asabri: ±Rp 23 triliun.
– Jiwasraya: ±Rp 17 triliun.
– Pertamina (2018–2023): ±Rp 193,7 triliun.
– PT Timah: ±Rp 300 triliun.
– Skandal Chromebook: ±Rp 9,9 triliun.
Jika dulu korupsi identik dengan suap miliaran, kini ia menjelma menjadi perampokan sistematis atas BUMN, proyek infrastruktur, dan lembaga keuangan negara.
Negara, alih-alih melindungi rakyat, justru dijadikan mesin ekstraksi untuk memperkaya segelintir elite.
Artikel Terkait
Ijazah Asli Jokowi Sempat Diperlihatkan, Ini Reaksi Mengejutkan dari Relawan PROJO
Soeharto Layak Jadi Pahlawan? Kritik Pedas PDIP yang Bikin Gregetan
Purbaya Ditegas untuk Reshuffle, Pengamat Intelijen: Ini Langkah Strategis!
Roy Suryo Bongkar Kejanggalan Ijazah Jokowi dari KPU: Tanda Tangan Misterius Ditutupi!