REFLEKSI: Jokowi dan 10 Tahun Rezim Maling di Indonesia

- Selasa, 09 September 2025 | 10:40 WIB
REFLEKSI: Jokowi dan 10 Tahun Rezim Maling di Indonesia


Runtuhnya Sistem Koreksi


Mengapa korupsi bisa sedemikian masif di era Jokowi? Karena sistem pengawasan dihancurkan dari dalam.


– KPK dilemahkan lewat revisi UU 2019, pegawai kritis dipaksa keluar melalui tes wawasan kebangsaan yang absurd.

Mahkamah Konstitusi dipolitisasi, menjadi instrumen dinasti. Putusan yang meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden menjadi simbol paling telanjang.

– Polisi dan kejaksaan lebih sering dipakai sebagai alat politik ketimbang penjaga hukum.


Tanpa sistem imun, demokrasi kehilangan daya tahan. Korupsi bukan lagi penyimpangan, melainkan modus operandi pemerintahan.


Jika SBY mengandalkan elite partai, Jokowi membangun sesuatu yang berbeda: dinasti politik. 


Putranya, Gibran, menjadi wakil presiden melalui jalan pintas konstitusional. Kaesang, anak bungsu, menjadi ketua partai. 


Dinasti ini bukan sekadar simbol keluarga berkuasa, melainkan infrastruktur politik yang memastikan jejaring rente tetap terjaga.


Dalam kacamata teori sistem, kleptokrasi ini bersifat autopoietik—ia mereproduksi dirinya sendiri. 


Seorang menteri boleh ditangkap, seorang pejabat boleh dipenjara, tapi jaringan tetap hidup. Yang dilindungi bukan hanya individu, melainkan sistem oligarkis itu sendiri.


Korupsi di era Jokowi tidak lagi sebatas relasi politisi dengan pengusaha. Ia berkembang menjadi jaringan multi-aktor: BUMN, kementerian, vendor swasta, partai politik, bahkan dinasti keluarga.


Jaringan ini modular: ketika satu simpul jatuh, simpul lain segera mengambil alih. Ia adaptif dan saling menopang. 


Jika korupsi Orde Baru bisa diputus dengan tumbangnya Cendana, maka korupsi di era Jokowi jauh lebih sulit, karena terdistribusi dan berlapis.


Dimensi lain yang tak kalah penting adalah faktor global. Proyek infrastruktur berbasis utang luar negeri dan investasi Tiongkok memberi ruang baru bagi rente transnasional.


Jalan tol, kereta cepat, food estate—semuanya menjadi ladang rente bersama antara elite domestik dan kapital asing.


Artinya, korupsi di era ini tidak hanya merampok rakyat Indonesia, tetapi juga menjerat negeri ini dalam ketergantungan yang lebih dalam terhadap modal global. 


Demokrasi bukan hanya subordinat dari oligarki nasional, melainkan juga dari kepentingan transnasional.


Jokowi Pendiri Rejim Kleptokrasi


Dari perbandingan pasca-Reformasi, pola evolusi terlihat jelas:


– SBY (2004–2014): korupsi banyak, tapi KPK kuat, sistem koreksi masih hidup.

– Jokowi (2014–2024): korupsi masif, nilai ratusan triliun, sistem koreksi lumpuh, oligarki terkonsolidasi, dinasti politik berkuasa.


Setiap rejim penguasa di Indonesia tidak terhindar dari korupsi. Namun baru di era Jokowi korupsi itu meluas, mengakar dan menempel erat pada sistem. 


Atas dasar itu kita dapat mengatakan bahwa rejim kekuasaan Jokowi adalah rejim kleptokrasi (rejim para maling).


Jokowi dapat dianggap sebagai peletak fondasi rezim kleptokrasi karena di bawah kepemimpinannya, korupsi bukan hanya berlangsung secara masif, tetapi juga dilembagakan melalui runtuhnya mekanisme pengawasan dan konsolidasi oligarki. 


Revisi UU KPK 2019 yang melemahkan lembaga antikorupsi, pemanfaatan Mahkamah Konstitusi untuk kepentingan dinasti, serta lumpuhnya mekanisme check and balance. 


Di atas fondasi itulah kleptokrasi berkembang: bukan sekadar praktik individu mencari rente, melainkan jaringan multi-aktor yang adaptif, mencakup BUMN, kementerian, partai politik, hingga keluarga presiden sendiri. 


Dengan kata lain, Jokowi menormalisasi korupsi sebagai modus utama kekuasaan, dan itulah yang menjadikannya peletak dasar rezim kleptokrasi oligarki di Indonesia.


Atas alasan diataslah mengapa era Jokowi layak disebut sebagai rejim kleptokrat (rejim maling). Skala, kedalaman, dan kompleksitas korupsi mencapai titik ekstrem.


Epilog: Jalan di Persimpangan


Dua puluh enam tahun setelah Reformasi, Indonesia kembali terjebak pada jebakan lama. 


Bedanya, jika dulu korupsi terpusat di Cendana, kini ia menyebar ke seluruh jaringan kekuasaan. 


Jika dulu bisa diputus dengan tumbangnya Soeharto, kini ia lebih sulit karena berakar dalam sistem.


Sejarah bangsa ini berulang: kejatuhan, kebangkitan, lalu kejatuhan lagi. Tetapi kali ini, tantangannya lebih serius. 


Bukan lagi sekadar siapa yang berkuasa, melainkan apakah negara ini masih punya kekuatan untuk keluar dari kleptokrasi yang sudah menjadi inti rezim.


Rezim Jokowi menandai puncak itu. Pertanyaannya kini, apakah bangsa ini masih memiliki tenaga untuk menurunkan puncak itu, atau justru akan membiarkan dirinya jatuh ke lembah yang lebih dalam? ***

Halaman:

Komentar