GEGER Surat Perjanjian MBG di Sleman hingga Blora: Jika Anak Keracunan, Ortu Wajib Diam!

- Minggu, 21 September 2025 | 07:40 WIB
GEGER Surat Perjanjian MBG di Sleman hingga Blora: Jika Anak Keracunan, Ortu Wajib Diam!




PARADAPOS.COM - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah pusat kini menuai sorotan tajam setelah beredarnya sebuah surat perjanjian yang dinilai janggal dan meresahkan. 


Surat berkop Badan Gizi Nasional (BGN) yang ditemukan di Kabupaten Sleman hingga Blora itu berisi klausul yang mewajibkan penerima manfaat untuk merahasiakan informasi jika terjadi insiden keracunan.


Surat perjanjian kerja sama antara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai pihak pertama dan penerima manfaat sebagai pihak kedua ini sontak viral dan memicu kemarahan publik. 


Dari beberapa poin yang tercantum, satu klausul berhasil menyita perhatian karena dianggap berpotensi membungkam korban dan menutupi kegagalan program.


Klausul Keracunan Wajib Rahasia


Poin paling kontroversial dalam surat tersebut adalah poin ketujuh. 


Di dalamnya, penerima manfaat, termasuk pihak sekolah, diminta untuk tidak menyebarkan informasi jika terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti keracunan massal. 


Mereka diwajibkan berkomunikasi secara internal dengan penyedia layanan hingga solusi ditemukan.


"Apabila terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti dugaan keracunan, ketidaklengkapan paket makanan atau masalah serius lainnya, PIHAK KEDUA berkomitmen untuk menjaga kerahasiaan informasi hingga PIHAK PERTAMA menemukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah tersebut. Kedua belah pihak sepakat untuk saling berkomunikasi dan bekerja sama dengan mencari solusi terbaik demi kelangsungan program ini," demikian bunyi poin ketujuh dalam surat perjanjian tersebut yang dilihat pada Sabtu (20/9/2025).


Bupati Sleman Mengaku Tak Dilibatkan


Menanggapi peredaran surat tersebut di wilayahnya, Bupati Sleman, Harda Kiswaya, justru memberikan jawaban mengejutkan. 


Ia mengaku sama sekali tidak mengetahui adanya surat perjanjian tersebut dan menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman tidak pernah diajak berkomunikasi oleh BGN terkait teknis pelaksanaan program.


Ironisnya, Pemkab justru yang harus turun tangan menangani beberapa kasus keracunan yang terjadi pasca-konsumsi MBG.


"Saya nggak ngerti. Karena saya tidak pernah diajak bicara. Kemarin saya sampaikan ke BGN yang ke kantor (Pemkab Sleman) tak undang itu mbok ayo diperbaiki sama-sama. Saya tahu itu program pusat, sebenarnya daerah siap support bagaimana itu bisa berjalan baik," terang Harda kepada wartawan, dikutip Minggu (21/9/2025).


Harda bahkan secara pribadi menentang klausul kerahasiaan tersebut. Menurutnya, evaluasi dari masyarakat sangat penting untuk perbaikan program.


"Menurut saya nggak baik. Evaluasi itu bisa dari masyarakat... Dan kalau menurut saya kalau (evaluasi) dari masyarakat itu murni, tanpa ada tendensi. Ya kita harus mengakui ada kelemahan yang harus diperbaiki," tegasnya.


Kritik Tajam DPRD Blora: Denda Tak Wajar dan Beban Guru


Kritik yang lebih keras datang dari Kabupaten Blora. 


Ketua Komisi D DPRD Blora, Subroto, menyoroti dua poin dalam surat perjanjian yang dinilai sangat memberatkan pihak sekolah.


Selain poin kerahasiaan, ia juga mengkritik poin kelima yang mewajibkan sekolah mengganti alat makan yang hilang seharga Rp80.000 per set.


"Poin lima terkait pergantian piring (ompreng), kalau hilang. Lah, untuk ganti rugi ya ini juga tidak wajar. Misal, ada sendok yang hilang atau peralatan yang hilang itu dendanya sampai Rp80 ribu," jelas Subroto dalam rapat audiensi di Kantor DPRD Blora, Kamis (18/9/2025) lalu.


Subroto juga mempertanyakan mekanisme penyelesaian masalah jika insiden keracunan harus dirahasiakan. 


Menurutnya, klausul ini aneh karena tidak ada lembaga pengawas yang jelas di tingkat SPPG.


"Terus kemudian yang bicara itu harus siapa? Ini pertanyaannya. Karena di situ di SPPG tidak ada pengawasannya. Hampir tidak ada karena mereka SPPG itu seolah-olah dia bertanggung jawab langsung kepada BGN pusat," tuturnya.


Lebih jauh, ia mengungkap adanya beban tambahan bagi para guru, seperti membersihkan alat makan dan meminta siswa membawa pulang sisa makanan agar laporan terlihat sempurna. 


Hal ini, menurutnya, membuat penyedia layanan seolah-olah tanpa cela.


"Sehingga, pihak SPPG seolah-olah tidak punya dosa. Karena makanan habis dan bersih," katanya.


Sumber: Suara

Komentar