Dosa-dosa polisi di bawah Sigit seperti mengulang rekam jejak pendahulunya. Tito Karnavian dan Idham Aziz.
Kekerasan dan kebengisan polisi terhadap demonstran, kriminalisasi ulama dan aktivis. Polisi jadi centeng pengusaha, terutama saat terjadi konflik dengan rakyat.
Merekayasa kasus, saksi dan barang bukti. Dan masih panjang daftar kejahatan polisi kepada rakyat dan bangsa ini.
Maka, ketika Prabowo bicara reformasi Polri, rakyat langsung menyambut dengan harapan. Apalagi pasca aksi rusuh akhir Agustus silam yang memantik kemarahan rakyat.
Publik ingin polisi kembali pada fungsi hakikinya: melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Bukan jadi alat politik atau perpanjangan tangan oligarki. Tapi langkah Sigit mendahului Presiden justru memperlihatkan sebaliknya: ada resistensi keras dari dalam tubuh Polri terhadap kontrol sipil. Bahaya jika ini dibiarkan.
Pertama, Polri makin kehilangan legitimasi di mata rakyat. Kepercayaan publik yang sudah terjun bebas bisa hancur total.
Kedua, faksi-faksi internal bisa terbentuk, memecah soliditas korps Bhayangkara. Tanda-tanda ini sudah tampak sejak kasus Sambo, ketika muncul kelompok-kelompok perwira yang saling sikut.
Ketiga, agenda besar reformasi bisa mandek, karena internal Polri menutup diri dari sentuhan Presiden.
Dalam konteks ini, posisi Prabowo sangat krusial. Presiden tidak boleh ragu.
Kalau Kapolri berani mendahului Presiden dalam hal sepenting reformasi, itu bukan sekadar salah prosedur. Itu tantangan langsung terhadap otoritas kepala negara.
Jika dibiarkan, bukan hanya agenda reformasi yang gagal, tapi juga wibawa presiden bisa runtuh di mata aparat. Dan, tentu saja, rakyat!
Jalan keluarnya jelas: ketegasan. Presiden harus memastikan Polri kembali netral, profesional, dan tunduk pada konstitusi.
Jika Kapolri tidak bisa menyesuaikan diri, bahkan lebih memilih mengikuti aba-aba “dari Solo”, maka opsi pencopotan tidak bisa ditawar.
Lebih baik mengganti satu jenderal daripada membiarkan seluruh institusi jadi alat tarik-menarik elite yang mengorbankan rakyat.
Said Didu sudah memberi peringatan keras: “Saya sarankan Sigit dan polisi jangan melawan Presiden yang sedang memenuhi harapan rakyat.” Pesan itu sederhana, tapi penuh makna. Polri tidak bisa lagi main dua kaki.
Kanan kiri oke. Ke Merdeka Utara yes. Tapi masih menyembah Solo. Loyalitasnya harus jelas: kepada rakyat lewat Presiden yang sah. Bukan kepada bayang-bayang masa lalu.
Kini bola ada di tangan Prabowo. Rakyat menunggu: apakah dia berani menunjukkan bahwa komando tertinggi benar-benar ada di tangannya?
Ataukah dia membiarkan Kapolri terus menari mengikuti irama Solo? Wujudkan reformasi Polri. Copot Kapolri jadi bagian integral reformasi itu. Jangan kecewakan rakyat. Lagi! ***
Artikel Terkait
Roy Suryo Kritik Hukum Tebang Pilih: Beberapa Terpidana Belum Dieksekusi, Saya Langsung Ditahan
Briptu Yuli Setyabudi Diduga Gelapkan 12 Mobil Rental: Ini Fakta dan Kronologi Terbaru
Fakta di Balik Foto Viral Ahmad Sahroni dan Laksamana Agus Wartono di Golf
Cek Mahar Rp 3 Miliar Kakek Tarman Hilang Usai Akad Nikah, Ini Kronologinya