Proses ini berdampak buruk bagi keragaman alam dan menyebabkan pukulan telak bagi perubahan iklim. Pembakaran hutan menciptakan emisi yang banyak di atmosfer dan mengakibatkan peningkatan suhu.
"Pada 2018, kehancuran yang terjadi di Malaysia dan Indonesia saja sudah cukup parah hingga menyumbang 1,4% emisi global. Angka itu lebih besar dari seluruh negara bagian California dan hampir sama besarnya dengan industri penerbangan di seluruh dunia," Gates menjelaskan.
Sayangnya, Gates mengakui bahwa peran minyak sawit sulit tergantikan. Sebab, komoditas sawit murah, tidak berbau, dan melimpah.
"MInyak sawit juga satu-satunya minyak nabati dengan keseimbangan lemak jenuh dan tak jenuh yang hampir sama, itulah sebabnya minyak ini sangat serbaguna. Jika lemak hewan adalah bahan utama dalam beberapa makanan, maka minyak sawit adalah pemain tim yang dapat bekerja untuk membuat hampir semua makanan dan barang-barang non-makanan menjadi lebih baik," Gates menjelaskan.
Untuk alasan-alasan tersebut, Gates mengatakan sudah ada perusahaan-perusahaan yang mencoba mengatasinya. Salah satunya C16 Biosciences yang berupaya membuat alternatif minyak sawit.
Sejak 2017, Gates mengatakan C16 mengembangkan produk dari mikroba ragi liar menggunakan proses fermentasi yang tidak menghasilkan emisi sama sekali.
Meski secara kimiawi berbeda dari minyak sawit konvensional, namun minyak C16 mengandung asam lemak yang sama, sehingga dapat digunakan untuk aplikasi serupa.
Sumber: cnbc
Artikel Terkait
Inflasi Oktober 2025 Capai 2,86%, Emas Perhiasan dan Cabai Merah Jadi Penyumbang Utama
Surplus Dagang Indonesia Tembus USD4,34 Miliar di September 2025, Terus Surplus 65 Bulan!
Spin-Off UUS BTN dan CIMB Niaga Rampung Akhir 2025, Ini Jadwal & Dampaknya
Frugal Innovation Digital: Penggerak Ekonomi Inklusif Menuju Indonesia Emas 2045