Kampus Seni Takut Pada Seni, Ironi Larangan Pementasan Teater Wawancara Dengan Mulyono

- Selasa, 18 Februari 2025 | 07:55 WIB
Kampus Seni Takut Pada Seni, Ironi Larangan Pementasan Teater Wawancara Dengan Mulyono

Keceman tersebut salah satunya datang dari Perkumpulan Nasional Teater Indonesia atau Penastri.


Wakil Sekretaris Umum Penastri Sahlan Mujtaba alias Bahuy menilai larangan terhadap pementasan lakon 'Wawancara dengan Mulyono' oleh rektorat ISBI Bandung sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan berkesenian. 


“Seni termasuk teater adalah ruang kritik dan refleksi sosial yang dijamin dalam konstitusi dan seharusnya mendapatkan perlindungan bukan represi,” kata Bahuy dalam keterangannya.


Penurunan poster atau baliho hingga penggembokan ruang Studio Teater ISBI jelang pementasan lakon 'Wawancara dengan Mulyono', kata Bahuy, mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk membungkam ekspresi seni.


Penastri yang memiliki 250 anggota baik perorang ataupun kelompok teater itu pun mendesak agar persoalan tersebut diusut secara tuntas. 


Sementara di sisi lain, ISBI Bandung sebagai institusi pendidik seni dinilai Bahuy semestinya mengunjung tinggi kebebasan berekspresi dan berkesenian. Bukan justru tunduk pada tekanan yang mengancam kebebasan artistik dan akademik. 


Atas adanya kejadian ini, Penastri juga mengajak kelompok masyarakat, komunitas seni hingga akademisi untuk sama-sama melawan dan menolak segala bentuk represi terhadap seniman. 


“Keberpihakan pada kebebasan berekspresi adalah langkah krusial dalam menjaga iklim demokrasi yang sehat,” tegasnya. 


Kebebasan Berkesenian Terus Memburuk


Kondisi kebebasan berkesenian di Indonesia terus memburuk. Musababnya karena minimnya perlindungan bagi seniman dalam kebijakan pemerintah. 


Koalisi Seni mencatat sejak 2010 angka pelanggaran terhadap kebebasan berkesenian terus mengalami peningkatan. 


Di tahun 2024 saja terjadi 60 peristiwa. Di mana 48 di antaranya merupakan sensor. 


“Beberapa kasus yang mengemuka tahun 2024 adalah larangan pemutaran film Eksil di Samarinda dan larangan serta intimidasi pemutaran film Dirty Vote di dua lokasi,” kata Koordinator Penelitian Koalisi Seni, Ratri Ninditya.


Sementara pelanggaran terhadap kebebasan berkesenian yang terjadi di lingkungan pendidikan atau kampus juga ditemukan cukup jamak. 


Koalisi Seni mengungkap sejak periode 2014 hingga 2024 setidaknya ditemukan 21 peristiwa.


Kasus batalnya pameran lukisan karya Yos Suprapto bertajuk 'Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan' di Galeri Nasional hingga pementasan teater lakon Wawancara dengan Mulyono di ISBI Bandung, kata Ratri, menunjukkan praktik berkesenian di tanah air semakin penuh risiko.


Terlebih, pelaku daripada pelanggaran terhadap kebebasan berkesenian itu dilakukan oleh aktor negara dan institusi pendidikan yang seharusnya berkewajiban melindungi seni.


“Pemenuhan dan pelindungan kebebasan berkesenian semakin dipinggirkan dalam agenda negara, baik soal ekspresi, remunerasi, maupun akses terhadap kesenian itu sendiri,” ungkapnya. 


Terkait pelarangan terhadap pementasan lakon Wawancara dengan Mulyono, Koalisi Seni juga menilai hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.


Di mana dalam Pasal 32 mengamanatkan negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.


“Seni adalah sumber pendidikan, sehingga institusi pendidikan seharusnya jadi pihak pertama yang melindungi ekspresi seni, menjadi tempat aman untuk mengeksplorasi seni apa pun. Dengan melarang pertunjukan secara mendadak dan sepihak, rektorat ISBI justru bersikap tidak netral dan merugikan kepentingan pelaku seni yang sudah mempersiapkan pertunjukan dari jauh-jauh hari,” katanya.


Sumber: Suara

Halaman:

Komentar