Dia mengingatkan, pada 1999 ada lima kesepakatan yang salah satunya memperkuat sistem presidensial.
Karena itu, Jimly mengusulkan wapres dipilih MPR agar kasak-kusuk seperti hari ini tidak lagi terjadi.
"Ini salah satu cara kita untuk menawarkan solusi dari tontonan yang tidak sehat yang sekarang ini," kata Jimly.
Dinamika poros menuju Pilpres 2024 masih dinamis walau satu bulan lagi pendaftaran dimulai.
Ketua Dewan Penasihat ICMI, Prof Jimly Asshiddiqie menilai, presidential threshold menjadi biang keladinya.
Dia mengajak masyarakat memikirkan evaluasi sekaligus menawarkan satu reformasi kebijakan.
Pasalnya, dinamika politik yang ditonton hari ini jelas tontonan kurang sehat, semua pragmatis dan transaksional.
Semua saling kasak-kusuk, saling intip, sehingga capres-cawapres tidak sejati dan cuma akan melahirkan pemimpin yang koalisinya tidak langgeng.
Jimly merasa, jika dibiarkan akan membuat semua berlomba nikmati kekuasaan.
"Tidak bisa kita bayangkan untuk transformasi jangka panjang," kata Jimly di Jakarta, Jumat.
Dia memandang, dinamika hari ini menunjukkan kelembagaan politik pemerintahan yang belum final, sehingga harus terus dievaluasi dan direvisi sambil memperkuat.
Termasuk, sistem yang dirumuskan dalam konstitusi lewat peraturan perundangan.
Salah satu yang Jimly tawarkan, yaitu penghapusan presidential threshold.
Dia menilai, ambang batas seperti itu boleh saja diterapkan untuk partai demi konsolidasi, tapi tidak untuk pilpres dan saatnya untuk dievaluasi.
"Presidential threshold sudah tepat dievaluasi, apa benar ini berguna untuk kemajuan bangsa, untuk peradaban demokrasi, mungkin lebih baik ditiadakan saja, dari pengalaman rumitnya koalisi ini," ujar Jimly.
Andai ditiadakan, ia menekankan, semua partai pemilu diberi hak saja untuk mengajukan calon, sesuai konstitusi.
Pada dasarnya, dalam sistem multi partai harus tercermin dalam kelembagaan partai multipartai.
"Tapi, tidak usah kita halangi jumlah capres harus dua, harus tiga, itu gara-gara presidential threshold," kata Jimly.
Jimly sempat diundang sebagai pemantau internasional di Rusia saat Vladimir Putin terpilih sebagai presiden Rusia.
Saat itu, ada 34 pendaftar presiden dan usai diseleksi tersisa delapan calon presiden.
Kala pemilihan, Putin menang dengan raihan 76 persen karena memang sangat populer.
Melihat dari pengalaman Rusia tersebut, ia menekankan, siapa saja kalau rakyat menghendaki menang memang pasti menjadi presiden.
"Tapi, tidak perlu menghalangi tujuh capres lainnya," ujar Jimly.
Sumber: RMOL
Artikel Terkait
Pamali Keraton Solo: Larangan Presiden Melayat Raja yang Wafat dan Dampaknya
Jokowi Gelar Open House di Solo, Ini Momen Langsung dan Alasan Tidak Hadir Kongres Projo
Budi Arie Setiadi Masuk Gerindra: Perlindungan Politik dari Kasus Judi Online?
November Run 2025: Kemensos Gelar Event Lari Perdana di TMII untuk Peringati Hari Pahlawan