Meski demikian, Efriza tetap menyebut kebijakan Prabowo memberikan 'pengampunan' itu sebagai langkah berani.
Sebab, langkah koreksi itu pasti memiliki konsekuensi.
"Dengan bersikap memperbaiki, Prabowo bisa menampilkan dirinya bukan hanya sebagai penerus Jokowi, melainkan sebagai pemimpin yang berani melakukan koreksi terhadap ketidakseimbangan kekuasaan, penegakan hukum yang dinilai politis, atau ketimpangan dalam representasi politik," tuturnya.
Oleh karena itu, Efriza menegaskan agar narasi “Prabowo sebagai pahlawan” tidak secara otomatis dianggap cerminan fakta objektif.
Alasannya, ada persepsi yang sedang dibangun dari pemberian amnesti dan abolisi itu.
"Perlu adanya kehati-hatian agar langkah-langkah korektif ini tidak sekadar menjadi pencitraan belaka," tuturnya.
Jika langkah itu tidak dibarengi keberpihakan nyata terhadap prinsip keadilan, demokrasi, dan kepedulian terhadap pemberantasan korupsi, kata Efriza, persepsi yang hendak dibangun bahwa “Prabowo pahlawan” justru memunculkan kesantentang kepentingan politik lebih kuat dibandingkan penegakan hukum.
Selain itu, Prabowo dengan kebijakan amnesti dan abolusi itu juga mesti siap menerima konsekunsi soal relasinya dengan Jokowi.
"Konsekuensi ke depan juga mesti siap diterimanya, karena hubungannya dengan Jokowi bisa retak, sebab di balik narasi pahlawan artinya ada yang dianggap “penjahat” dalam persoalan politik yang menjerat Hasto dan Tom Lembong tersebut," pungkas Efriza.
Sumber: JPNN
Artikel Terkait
Dukungan Pemerintah Rp 57 Juta/Tahun untuk Keluarga 10 Pahlawan Nasional 2025, Termasuk Gus Dur & Soeharto
Prabowo Beri Julukan Don Si Kancil ke Dasco & Pesan Legacy untuk Kader Gerindra
Roy Suryo Diperkirakan Lanjut ke Pengadilan Terkait Kasus Ijazah Palsu Jokowi
Jusuf Kalla Buka Suara Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Kita Harus Terima Kenyataan