Hal ini mengirimkan pesan bahwa pengaruh sang mantan presiden tidak lagi sekuat dulu.
Pernyataan Budi Arie Setiadi yang menanggapi dinamika terbaru ini menegaskan bahwa pragmatisme politik telah mengambil alih.
"Kami akan berbaris di belakang Prabowo," menjadi sebuah kalimat simbolik yang menandai berakhirnya sebuah era dan dimulainya babak baru, di mana loyalitas tidak lagi terikat pada satu figur, melainkan pada konstelasi kekuasaan yang paling menjanjikan.
Lalu, bagaimana nasib langkah politik Jokowi ke depan? Banyak analis memprediksi bahwa manuver politik Jokowi akan menjadi 'pincang'.
Tanpa basis massa relawan yang solid dan dengan partai-partai pendukungnya yang kini harus berbagi kue kekuasaan dalam koalisi raksasa pimpinan Prabowo, ruang gerak Jokowi untuk menempatkan agenda-agenda warisannya atau bahkan memainkan peran sebagai kingmaker di masa depan akan sangat terbatas.
Ia berisiko menjadi 'bebek lumpuh' lebih cepat dari yang diperkirakan.
Kekuatan politik yang dibangunnya selama sepuluh tahun berpotensi tergerus oleh aliansi strategis antara mantan rival dan partai yang mengusungnya.
Dinamika ini membuktikan sekali lagi bahwa dalam politik, tidak ada kawan atau lawan yang abadi.
👇👇
saat berhalanya sudah mulai lemah.. dia lgsg nyari berhala baru untuk berlindung.
apakah Pak @prabowo dan @Gerindra mau dijadikan tempat berlindung orang2 yg terindikasi sbg pelaku KORUP?
sekalian aja rekrut airlangga, zulhas, bahlul, luhut, muldoko, listyo, tito, dll.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Pesan Natal Kardinal Suharyo: Seruan Pertobatan Pejabat di Tengah Maraknya Kepala Daerah Diciduk KPK
Pilkada Lewat DPRD: Hanya Akal-Akalan Elite Politik untuk Kekuasaan?
Pengakuan Yusril Ihza Mundur Demi Gus Dur Jadi Presiden 1999: Fakta Sejarah Terungkap
Hashim Djojohadikusumo Bantah Isu Lahan Sawit Prabowo: Klarifikasi Lengkap dan Fakta