Demo Geruduk Kantor Menteri HAM Natalius Pigai di Jakarta, Mahasiswa Papua: TNI-Polri Pembunuh!

- Selasa, 03 Juni 2025 | 05:30 WIB
Demo Geruduk Kantor Menteri HAM Natalius Pigai di Jakarta, Mahasiswa Papua: TNI-Polri Pembunuh!




PARADAPOS.COM - Kantor Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai di Jakarta pada Selasa (3/6/2025) mendadak digeruduk massa pendemo yang tergabung dalam Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Moni (IPMMO). 


Dalam aksinya, massa pendemo menuding aksi kekerasan di Papua, khususnya di Kabupaten Intan Jaya akibat ulah aparat TNI-Polri. 


Koordinator aksi, Yulianus Piame mengatakan, aksi kekerasan militerisme di tanah Papua seakan tidak ada habisnya.


“Kekerasan terjadi sejak tahun 1961 di mana negara Indonesia membentuk Trikomando rakyat di alun-alun Yogyakarta, serta membubarkan negara buatan Belanda, dan kibarkan Sang Merah Putih di Irian Jaya. Dari situlah mulai pembunuhan, pemerkosaan hingga perampasan hak bagi masyarakat Papua,” beber Yulianus saat berorasi di tengah massa aksi di depan Kantor Kementerian HAM, Jakarta.


Dalam demonstrasi yang digelar di kementerian yang dipimpin oleh Menteri HAM, Natalius Pigai, orator turut mengungkit aksi kekerasan aparat militer kepada orang asli Papua, termasukm kasus pembunuhan terhadap seorang pelajar SMP Negeri 1 Sugapa dan Kepala Suku di Intan Jaya. 


“Konflik di Kabupaten Intan Jaya sejak 2016-2025 terus berlanjut," bebernya, 


Belum lagi, terus berlangsungnya kontak senjata antara TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Operasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).


“Dari situlah banyak nyawa yang menjadi korban, terjadi pembunuhan di luar hukum,” katanya.


Yulianus mengatakan, jika di total, sudah ada puluhan nyawa yang tewas akibat kekerasan yang terjadi di Papua.


Ia mengaku, berdasarkan sejumlah catatan, pada tahun 2021, ada 5 warga sipil yang menjadi korban. Di tahun 2023 warga sipil yang menjadi korban jiwa mencapai 18, pada tahun 2024, terdapat 9 orang warga sipil yang menjadi korban.


“Hingga kini, tahun 2025, 10 orang warga sipil yang korban dan serta jumlah total 60 jiwa yang korban di Kabupaten Intan Jaya. Ini adalah benar-benar warga sipil yang (menjadi) korban di luar hukum,” ujarnya. 


“Saat ini kami mahasiwa Intan Jaya dan pada umumnya mahasiswa Papua menilai bahwa negara saat ini tidak adil bagi keluarga korban maka kami menuntut kepada Komnas HAM segera turun dan investigasi (pelanggaran HAM) di Kabupaten Intan Jaya,” imbuhnya.


Yulianus mengatakan kekerasan militerisme di tanah Papua ini merupakan demi kepentingan ekonomi global, kapitalisme, imperialisme, kolonialisme memakai kekuatan militer sebagai alat untuk terus menguasai wilayah adat papua, dan terus membunuh rakyat papua yang mempertahankan hak asasinya. 


“Konflik di Kabupaten Intan Jaya sejak 2019 hingga 2025 adalah salah satu tragedi kemanusiaan yang kompleks dan berkepanjangan di Papua. Dengan latar belakang politik dan ekonomi, sehingga masyarakat sipil menjadi korban,” jelasnya.


Berdasar pantuan, massa mahasiswa asal Papua itu turut membentangkan sejumlah poster dan spanduk selama aksi di depan kantor Kementerian HAM. 


Salah satu yang mencolok adalah poster berwarna pink yang dibawa seorang pendemo yang bertuliskan: "TNI-Polri Pembunuh"


Pernyataan Sikap Anggota DPR-DPR soal Konflik Papua


Diberitakan sebelumnya, Anggota DPR RI dan DPD RI dari daerah Pemilihan (Dapil) Se-Tanah Papua yang tergabung dalam Forum Komunikasi dan Aspirasi Anggota DPD-DPR RI Tanah Papua (For Papua MPR RI) menyatakan sikap soal gejolak yang terjadi di Bumi Cenderawasih itu. 


Sikap itu disampaikan lantaran adanya konflik bersenjata yang terjadi di Papua khususnya di wilayah-wilayah bagian pegunungan seperti Kabupaten Puncak, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Nduga. 


Setidaknya ada delapan sikap yang disampaikan, pertama, konflik bersenjata di Papua justru semakin hari semakin naik eskalasinya untuk itu diperlukan respons komprehensif dari pemerintah yang kini dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto. 


"Membutuhkan respons terukur, terencana dan komprehensif dari seluruh pihak. Tidak hanya pemerintah daerah, tapi juga pemerintah pusat yang membawahi aparat keamanan (TNI-Polri) serta Kementerian dan Lembaga yang berkaitan langsung dengan penanganan konflik dari hulu hingga hilir," kata Anggota DPD RI Filep Wamafma dalam konferensi persnya di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (27/5/2025). 


Setidaknya ada delapan poin terkait pernyataan sikap anggota DPR-DPD RI demi meredam konflik di Papua. Berikut delapan poin tersebut: 


1. Konflik bersenjata di Tanah Papua yang telah berlangsung sejak lama dan belum juga menunjukkan intensitas yang menurun atau berkurang, bahkan semakin meningkat dan bertambah, membutuhkan repons terukur, terencana dan komprehensif dari seluruh pihak. Tidak hanya pemerintah daerah, tapi juga pemerintah pusat yang membawahi aparat keamanan (TNI-POLRI) serta Kementerian dan Lembaga yang berkaitan langsung dengan penanganan konflik dari hulu hingga hilir. 


2. Eskalasi jumlah korban dari berbagai pihak, baik aparat keamanan maupun masyarakat sipil harus dipandang sebagai dampak dari persoalan konflik yang berlangsung sejak lama. Sehingga penanganan atas situasi tersebut tidak parsial, pragmatis dan jangka pendek, apalagi sekadar mengandalkan penyelesaian dari perspektif kemanan semata.  


3. Ribuan korban yang mengungsi sejak konflik bersenjata yang berlangsung beberapa bulan belakangan ini, harus membuka mata, pikiran dan hati Pemerintah Pusat untuk mengevaluasi kebijakan penanganan konflik di Tanah Papua. Pendekatan keamanan dengan pengerahan aparat TNI-POLRI di Tanah Papua harus dihentikan. Kebijakan tersebut hanya akan terus melahirkan trauma yang berkepanjangan dan semakin memperkuat kesan bahwa masyarakat Papua adalah objek pengamanan, bukan subjek kemanusiaan.  


4. Konflik yang terus berulang di Tanah Papua tidak bisa lagi direspons secara retoris oleh Pemerintah Pusat. Janji Pemerintah Pusat untuk menangani persoalan Papua dengan pendekatan humanis, rekonsiliatif dan jalan damai dengan mengedepankan Hukum dan HAM, harus diimplementasikan pada tataran riil disertai dengan kebijakan yang sejalan dengan janji tersebut. 


5. Pemerintah Pusat harus melibatkan lembaga-lembaga formal dan konstitusional dalam menangani persoalan di Tanah Papua. Hal itu terutama dilakukan dengan mengedepankan komunikasi intensif antara pemerintah pusat, daerah dan elemen kemasyarakatan di Tanah Papua dengan Lembaga Perwakilan Rakyat yang merepresentasikan masyarakat Papua di bawah koordinasi FOR PAPUA MPR RI. 


6. Komunikasi antarkelembagaan yang merepresentasikan masyarakat Papua di tingkat daerah dan di tingkat pusat, harus terjalin dengan maksimal. *Tidak boleh ada kebijakan yang bersifat sektoral*, mengingat konteks persoalan Tanah Papua memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia   


7. Kementerian Politik dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum, Kementerian Hak Asasi Manusia, TNI dan POLRI, serta seluruh lembaga pemerintah pusat harus memiliki visi yang sama serta kebijakan yang beriringan. *For Papua MPR RI akan senantiasa menyediakan waktu dan kesempatan untuk memfasilitasi langkah-langkah bersama dan komprehensif bagi penanganan masalah di Tanah Papua.* 


8. Penanganan persoalan di Tanah Papua tidak bisa diselesaikan secara sepihak, melainkan membutuhkan kerja sama seluruh pihak yang berkepentingan dan berwenang di dalamnya. Konflik bersenjata dan ribuan pengungsi yang sedang mempertaruhkan nasib dan masa depan mereka, adalah dampak dari kebijakan masa lalu yang keliru. Tanpa komunikasi yang lebih baik, situasi tersebut akan terus berulang dan melahirkan korban-korban yang tidak berkesudahan.


Sumber: Suara

Komentar