Selain itu, setelah meninggalnya Ibu Tien Soeharto pada 1996, Tutut sempat mengambil peran sebagai pendamping resmi Presiden dalam berbagai acara kenegaraan, sehingga dikenal publik sebagai figur yang kerap tampil di panggung nasional.
Pengamat politik menilai derasnya dukungan warganet ini menunjukkan adanya kerinduan sebagian kelompok terhadap figur lama yang dianggap mampu membawa stabilitas politik.
“Fenomena ini lebih pada simbol nostalgia politik. Publik mudah terhubung dengan nama besar Soeharto, sehingga Tutut otomatis mendapat dorongan,” kata seorang pengamat politik dalam keterangan tertulis.
Namun, di sisi lain, tak sedikit pula yang mempertanyakan relevansi wacana ini dengan kebutuhan regenerasi politik Golkar.
Sebagian menilai partai yang lahir pada 1964 itu semestinya lebih fokus pada kaderisasi ketimbang menengok ke belakang.
Meski begitu, arus dukungan di media sosial tak bisa dianggap remeh.
Jika terus bergulir, wacana Tutut memimpin Golkar berpotensi menjadi isu politik besar menjelang agenda Musyawarah Nasional partai tersebut.
Gelombang dukungan publik di media sosial memperlihatkan bahwa nama besar Soeharto masih punya daya magnet di tengah masyarakat.
Apakah nostalgia Orde Baru akan benar-benar membawa Tutut ke kursi pimpinan Golkar masih menjadi tanda tanya besar.
Namun satu hal yang jelas, dinamika ini kembali menegaskan bahwa politik Indonesia kerap kali bersinggungan dengan romantisme masa lalu, terutama saat publik merasa butuh figur kuat di tengah ketidakpastian politik.
Sumber: HukamaNews
Artikel Terkait
Jokowi ke Singapura Usai Diminta PSI Istirahat & Mangkir Sidang Ijazah: Fakta Lengkap
Jimly Asshiddiqie Ungkap Fakta Mencengangkan Maraknya Ijazah Palsu di Indonesia
Arsip Legalisasi Ijazah Jokowi di UGM Tidak Ditemukan, Pakar Hukum: Perkuat Keraguan
Klarifikasi KPU Solo: Ijazah Jokowi Tidak Pernah Dimusnahkan, Masih Tersimpan