Apalagi SSS diketahui merupakan mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB, sehingga meme ciuman Prabowo-Jokowi itu menurut Castro seharusnya dikualifikasikan sebagai sebuah karya seni.
Di mana dalam konteks kebebasan berekspresi, karya seni tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk kritik terhadap keintiman yang berlebih dan tidak wajar antara Jokowi dan Prabowo.
“Jadi menurut saya penyidik mestinya fokus bukan kepada asapnya, tapi kepada apinya. Bukan fokus kepada meme, tapi kepada pesan yang hendak disampaikan. Cara kita berdemokrasi kan seperti itu,” ujar Castro.
Castro juga sependapat dengan Fickar yang mendoro Prabowo untuk bertindak tegas kepada anggota polisi yang melakukan penangkapan hingga menetapkan SSS sebagai tersangka.
Ketegasan dari kepala negara penting sebagai bentuk keberpihakan terhadap kebebasan berekspresi dan demokrasi.
“Ketika itu didiamkan oleh presiden itu sama dengan presiden membiarkan demokrasi diobok-obok. Padahal dia bertanggung jawab penuh bagaimana mempertahankan demokrasi dalam konteks kebebasan berekspresi bagi setiap warga negara,” tuturnya.
Kriminalisasi
Sementara Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Nenden Sekar Arum menyebut Pasal 27 Ayat 1 dalam UU ITE memang acap kali disalahgunakan. Termasuk saat menjerat SSS.
Safenet, kata Nenden, sebenarnya sempat mengusulkan agar Pasal 27 Ayat 1 ini dihapus dalam Revisi Kedua UU ITE karena berpotensi menjadi pasal karet.
“Kami menilai waktu itu pasal ini akan tetap menjadi pasal yang bermasalah dan bahkan disalahgunakan. Dan terbukti pasal 27 Ayat 1 ini digunakan untuk membungkam SSS yang memproduksi konten meme Prabowo dan Jokowi,” jelas Nenden.
Nenden sependapat dengan Castro, bahwa meme ciuman Prabowo-Jokowi itu semestinya dipandang sebagai kritik lewat karya seni bukan sebuah tindak pidana kesusilaan.
Sehingga ia menilai penerapan Pasal 27 Ayat 1 UU ITE terhadap SSS tidak lain merupakan bentuk pembungkaman terhadap kreativitas dan kriminalisasi.
“Apakah penggunaan Pasal 27 Ayat 1 itu pas atau bentuk kriminalisasi? Saya rasa ini bentuk kriminalisasi,” ujarnya.
Selain acap kali dipergunakan untuk mengkriminalisasi seseorang, Nenden menyebut Pasal 27 Ayat 1 UU ITE juga kerap dipergunakan untuk menyerang balik perempuan korban kekerasan seksual.
Padahal, pasal tersebut semestinya dipergunakan penyidik untuk menjerat pelaku kekerasan berbasis gender online atau KBGO.
Karena itu Safenet juga mendesak Polri tidak hanya sebatas menangguhkan penahanan SSS. Tapi juga menghentikan perkara tersebut karena unsur pidana yang disangkakan tidak terpenuhi.
“Jangan cuma penangguhan, tapi harusnya SP3 karena unsur pidana tidak terpenuhi, dan itu bentuk ekspresi sah,” tutur Nenden.
Amnesty International Indonesia (AII) mencatat sepanjang tahun 2019-2024 setidaknya terdapat 530 kasus kriminalisasi terkait kebebasan berekspresi. Di mana 563 korban di antaranya dijerat dengan UU ITE.
Direktur Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid menyebut pelaku kriminalisasi didominasi oleh patroli siber Polri, yakni 258 kasus dengan 271 korban. Kemudian laporan Pemerintah Daerah 63 kasus dengan 68 korban.
Kriminalisasi lewat UU ITE, kata Usman, tidak hanya menghukum korban tapi juga menimbulkan trauma psikologis terhadap keluarga mereka.
“Ini merupakan taktik yang represif dan tidak adil,” ujar Usman.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
KPK Digugat Praperadilan Kasus Kuota Haji Yaqut Cholil Qoumas: Fakta & Kerugian Rp1 Triliun
Sepupu Bobby Nasution, Dedy Rangkuti, Berpeluang Jadi Saksi Kunci Sidang Suap Proyek Jalan Sumut
KPK Tunggu Hasil Sidang Kasus Korupsi Proyek Jalan Sumut untuk Usut Bobby Nasution
Rismon Sianipar Dilaporkan Andi Azwan ke Polisi: Tuduhan TPPU hingga Keturunan PKI