Kebijakan ini diperkuat dengan terbitnya Peraturan Mendikbudristek Nomor 5 Tahun 2021 yang mewajibkan penggunaan sistem operasi Chrome OS dalam pengadaan perangkat TIK melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dokumen internal menunjukkan bahwa alokasi untuk pengadaan Chromebook mencapai Rp433,4 miliar untuk jenjang SD dan Rp271,4 miliar untuk SMP.
Enam produsen lokal, seperti Advan, Axioo, dan Zyrex, turut dilibatkan dalam perakitan laptop tersebut yang bekerja sama langsung dengan inisiatif Google for Education.
Tak hanya dalam perangkat keras, kerja sama dengan Google juga merambah ke pengembangan sistem cloud untuk basis data guru serta platform belajar daring seperti Belajar.id.
Platform ini mencakup berbagai aplikasi pendidikan, termasuk Google Workspace for Education dan Chromebook, yang semuanya berbasis layanan Google.
Pada 22 Mei 2023, pihak Google melalui Country Lead Google for Education Indonesia, Olivia Basrin, menyampaikan bahwa kerja sama dengan Kemendikbudristek telah terjalin sejak 2019 untuk mendukung transformasi pendidikan nasional.
Namun, semakin eratnya hubungan ini kini menjadi bahan evaluasi, terutama ketika dikaitkan dengan potensi gratifikasi dan pengaruh korporasi terhadap arah kebijakan negara.
Sementara itu, Kejagung telah meningkatkan status perkara pengadaan Chromebook ke tahap penyidikan sejak 20 Mei 2025.
Penyidik menemukan indikasi adanya permufakatan jahat dalam proses perubahan kajian teknis yang seolah diarahkan agar Chromebook menjadi satu-satunya pilihan.
Total anggaran program digitalisasi pendidikan dalam kurun 2019–2022 mencapai hampir Rp10 triliun.
Dari jumlah tersebut, sekitar Rp3,58 triliun berasal dari anggaran Kemendikbudristek, dan sisanya sebesar Rp6,39 triliun ditopang oleh Dana Alokasi Khusus (DAK).
Langkah hukum yang diambil Kejagung sejauh ini termasuk penggeledahan rumah dan apartemen sejumlah mantan staf khusus Mendikbudristek, seperti Fiona Handayani, Jurist Tan, dan Ibrahim Arief.
Dari operasi tersebut, penyidik menyita berbagai barang bukti, mulai dari perangkat elektronik hingga dokumen penting yang kini tengah dianalisis.
Ketiga mantan staf tersebut sempat dijadwalkan menjalani pemeriksaan awal Juni 2025, namun tidak hadir tanpa keterangan.
Akibatnya, Kejagung mengeluarkan surat pencegahan ke luar negeri kepada Ditjen Imigrasi untuk mencegah ketiganya meninggalkan Indonesia selama proses hukum berlangsung.
Kasus ini membuka babak baru dalam pengawasan publik terhadap kebijakan digitalisasi pendidikan.
Selain potensi kerugian negara, muncul pertanyaan mendalam tentang transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan teknologi di sektor pendidikan.
Apakah program digitalisasi yang seharusnya membawa manfaat justru dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pihak?
Pertanyaan ini kini berada di tangan penegak hukum, sementara masyarakat menanti kejelasan dan keadilan dalam proses penyidikan.
Sumber: HukamaNews
Artikel Terkait
Sidang Ijazah Gibran: Saksi Ahli Dirahasiakan, Sidang Lanjutan 10 Desember 2025
KPK Wajib Periksa Jokowi dan Luhut Terkait Kasus Korupsi Proyek Whoosh, Ini Alasannya
Update Kasus Ijazah Jokowi: Gelar Perkara Segera Digelar, Satu Terlapor Belum Diperiksa
KPK Didorong Periksa Jokowi & Luhut di Kasus Whoosh, Begini Kata Pakar Hukum