“Kalau kita bicara kerugian negara, majelis seharusnya memberikan pertimbangan yang lebih rinci dan berbasis hitungan aktual. Tapi yang muncul justru sebatas kutipan teori dan doktrin,” ujar Hardjuno dalam rilis pers Sabtu (19/7/2025).
Ia menyinggung bahwa rujukan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XI/2014 yang menyatakan keuangan BUMN termasuk keuangan negara memang sah, namun tidak cukup dijadikan satu-satunya dasar untuk menjerat seseorang secara pidana.
Dalam putusan majelis, Thomas Lembong dinyatakan terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Namun menurut Hardjuno, terdapat kekosongan argumentasi mendalam soal pembuktian mens rea atau niat jahat dari terdakwa.
“Ini aneh. Dalam hukum pidana modern, orang dihukum itu karena dua unsur terpenuhi: actus reus (perbuatan jahat) dan mens rea (niat jahat). Kalau mens rea tidak dibuktikan, dasar menjatuhkan pidananya jadi lemah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Hardjuno menyoroti pula posisi diskresi yang dilakukan oleh Tom saat menjabat sebagai Mendag.
Menurutnya, keputusan kebijakan seperti impor gula memang bisa dinilai dari sisi administratif, tapi tidak serta-merta bisa dijadikan dasar pemidanaan.
“Dalam banyak kasus serupa di negara demokratis, seperti Jepang atau Jerman, ketika menteri membuat kebijakan yang kemudian diperdebatkan, itu ranah etik dan administrasi. Bukan pidana. Kita jangan sampai menggunakan hukum pidana sebagai instrumen balas dendam atau kriminalisasi kebijakan,” tegasnya.
Selain itu, Hardjuno juga mengkritik pertimbangan hakim yang menyebut bahwa Tom tidak mengedepankan nilai-nilai demokrasi ekonomi dan Pancasila.
Bagi Hardjuno, pertimbangan normatif semacam itu semestinya menjadi ranah etika politik, bukan menjadi dasar pemberatan pidana.
“Kalau alasannya karena lebih berpihak pada ekonomi kapitalis, itu debat ideologis, bukan argumentasi hukum. Hukum pidana tidak boleh jadi arena perdebatan ideologi,” katanya.
Di akhir pernyataannya, Hardjuno menyarankan agar lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga peradilan, lebih hati-hati dalam menarik garis antara kesalahan administrasi dan tindak pidana.
“Pemisahan yang tegas itu penting agar penegakan hukum tidak keluar dari rel keadilan,” pungkasnya.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Gelar Perkara Khusus Kasus Ijazah Jokowi di Polda Metro: Jadwal, Tersangka & Kronologi Lengkap
Skandal Solar Murah Rp 2,5 Triliun: Kejagung Diduga Tak Serius Usut Tuntas Kasus Erick Thohir, Boy Thohir, Franky Widjaja
Polda Jabar Profiling Adimas Firdaus Resbob, Terkait Ujaran Kebencian ke Suku Sunda yang Viral
Wagub Jabar Minta Polisi Tangkap Adimas Firdaus, Pemilik Akun Resbob Penghina Suku Sunda