PARADAPOS.COM - Reformasi parlemen tidak cukup bersifat kosmetik, melainkan harus sistemik.
Meski telah dilakukan penonaktifan anggota, pemotongan tunjangan, hingga penghentian perjalanan dinas, itu merupakan langkah pendek.
Hal yang mendesak justru perubahan yang lebih mendasar, seperti penyelesaian RUU, pengawasan yang tegas, serta penjagaan integritas.
Argumen ini disampaikan Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia
“Kita butuh sesuatu yang beyond dari itu, sesuatu yang sifatnya lebih jangka panjang dan menyasar kepada sesuatu yang sistemik,” kata Alfath, Senin (1/9/2025).
Alfath menyebut pemotongan tunjangan atau penonaktifan anggota memang diperlukan, tetapi tidak boleh berhenti di sana.
DPR dan pemerintah harus segera menuntaskan rancangan Undang-Undang yang menjadi kebutuhan publik, salah satunya RUU Perampasan Aset.
Instrumen hukum ini, lanjutnya, akan menjadi senjata untuk menutup ruang gerak koruptor yang selama ini leluasa menyalahgunakan kekuasaan.
Ia menekankan, tanpa perangkat hukum yang tegas, korupsi akan tetap berulang karena tidak ada efek jera yang nyata.
"Koruptor itu tidak takut mati, koruptor itu hanya takut miskin,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menggarisbawahi bahwa perubahan sistemik parlemen harus dimulai dari partai politik.
Selama ini, ketergantungan anggota legislatif pada ketua umum partai membuat reformasi menjadi sulit.
Alfath menyebut praktik politik di Indonesia masih kental dengan pola oligarki yang menyerupai perusahaan keluarga.
Menurutnya, pola pewarisan kepemimpinan politik yang eksklusif membuat banyak orang di luar lingkaran keluarga tidak punya kesempatan setara.
Situasi ini, jelasnya, menghambat regenerasi kader yang lebih kompeten dan berintegritas.
“Sasaran yang paling utama dan harus diajak untuk berdialog dan melakukan perubahan itu adalah ketua umum partai politik,” jelasnya.
Dalam hal pengawasan, Alfath menekankan pentingnya memperkuat partisipasi masyarakat.
Menurutnya, mekanisme audit sosial bisa menjadi cara untuk memastikan DPR benar-benar bekerja sesuai mandat rakyat.
Ia menyebut praktik ini telah berhasil diterapkan di negara-negara dengan demokrasi mapan dan bisa menjadi contoh bagi Indonesia.
Partisipasi publik, katanya, juga akan membangun rasa kepemilikan warga terhadap proses legislasi.
Artikel Terkait
Gelar Perkara Khusus Kasus Ijazah Jokowi di Polda Metro: Jadwal, Tersangka & Kronologi Lengkap
Skandal Solar Murah Rp 2,5 Triliun: Kejagung Diduga Tak Serius Usut Tuntas Kasus Erick Thohir, Boy Thohir, Franky Widjaja
Polda Jabar Profiling Adimas Firdaus Resbob, Terkait Ujaran Kebencian ke Suku Sunda yang Viral
Wagub Jabar Minta Polisi Tangkap Adimas Firdaus, Pemilik Akun Resbob Penghina Suku Sunda