Pembuat Konten Hoax Seperti Video Uya Kuya Bisa Dihukum, Tegas Ahli Hukum di Sidang MKD
Ahli hukum, Satya Adianto, memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR yang membahas perkara lima anggota parlemen nonaktif. Sidang ini merupakan tindak lanjut dari aksi unjuk rasa yang terjadi pada 25-31 Agustus 2025 lalu.
Satya menegaskan bahwa meskipun masyarakat memiliki kebebasan berpendapat dan berekspresi, kebebasan tersebut memiliki batas. Menurutnya, kebebasan tidak boleh digunakan untuk memproduksi konten yang tidak sesuai fakta atau mengandung ajakan kebencian.
"Kalau sampai sejauh itu, sampai memproduksi konten-konten hoax, itu pelanggaran hukum," tegas Satya di Ruang Sidang MKD DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin, 3 November 2025.
Video Hoax Uya Kuya Jadi Contoh Pelanggaran Hukum
Satya Adianto memberikan contoh konkret konten menyesatkan yang melanggar hukum, yaitu video lama milik Anggota DPR Surya Utama atau yang dikenal sebagai Uya Kuya. Video tersebut diedit dan disebarkan seolah-olah merupakan konten baru yang berisi hinaan terhadap masyarakat.
"Misalnya kan yang Uya Kuya, diambil dari video lama, dibikin video baru seolah-olah Uya Kuya menghina netizen yang mengkritik beliau, mengkritik DPR. Itu pelanggaran hukum," jelas dia.
                        
                                
                                            
                                            
                                            
                                                
                                                
                                                
                                                
                                                
                                                
Artikel Terkait
5 Fakta Mengerikan Ahmad Sahroni Saat Rumah Dijarah, Muncul Setelah 2 Bulan!
KPK OTT Riau: Gubernur dan 9 Tersangka Lain Dibawa ke Jakarta
Projo Belum Jadi Parpol, Pengamat Sebut Tidak Punya Nyali? Ini Alasannya
Ray Rangkuti Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Ini Alasannya