Organisasi seperti JATAM dan WALHI mengecam kebijakan ini. Mereka menilai ini sebagai obral konsesi dan bentuk politik balas budi. Kekhawatiran utama meliputi:
- Lemahnya pengawasan dan akuntabilitas pengelolaan tambang oleh ormas.
- Potensi konflik lahan baru dengan masyarakat adat.
- Politisasi agama dalam bisnis ekstraktif yang merusak lingkungan.
- Kebijakan ini tidak menyentuh akar masalah, yaitu paradigma eksploitasi itu sendiri.
Penegakan Hukum yang Mandul: Vonis untuk Korporasi, Bukan Pelaku
Undang-undang sebenarnya telah menyediakan instrumen tegas. UU Minerba dan UU PPLH mengenal prinsip corporate liability dengan ancaman pidana 10-15 tahun penjara bagi pengurus korporasi perusak lingkungan.
Namun, dalam kasus seperti Raja Ampat, penegakan hukum sering hanya menjangkau entitas korporasi sebagai badan hukum. Pemilik dan pengambil keputusan nyaris tidak pernah tersentuh. Pencabutan izin menjadi jalan pintas yang menghindari proses pidana.
Kesimpulan: Perubahan Pemain atau Perubahan Cerita?
Siklus yang terjadi tampak jelas: pencabutan izin lama -> penawaran konsesi baru -> redistribusi kepemilikan. Selama lahan hutan tetap dipandang sebagai komoditas yang sah untuk dikeruk, selama itu pula kerusakan akan berlanjut.
Pertanyaan mendasar tetap menggantung: Apakah negara mendistribusikan keadilan lingkungan, atau sekadar mendistribusikan izin kehancuran dengan wajah dan label yang berbeda-beda? Hutan tropis Indonesia terus menunggu jawaban yang substantif, bukan sekadar pergantian papan nama.
(Ketua Satupena Kalbar)
Artikel Terkait
Klarifikasi Dadan Hindayana: Main Golf untuk Galang Dana Bencana Sumatera, Bukan Rekreasi
2.603 Rumah Bantuan Bencana Dibangun Tanpa APBN, Tzu Chi & Menteri Ara Jadi Donor
Bantuan Rp 10.000 Per Hari dari Mensos Gus Ipul untuk Korban Bencana: Syarat & Rincian Lengkap
Lisa Mariana Minta Maaf ke Atalia via DM Instagram: Isi Pesan & Bukti Unggahan