Kritik Otoritarianisme & Miliarisasi Prabowo-Gibran: Analisis Busyro Muqoddas dan UII

- Selasa, 30 Desember 2025 | 15:50 WIB
Kritik Otoritarianisme & Miliarisasi Prabowo-Gibran: Analisis Busyro Muqoddas dan UII

Kedua lembaga itu mendesak pemerintah untuk:

  • Menghentikan segala bentuk militerisasi program prioritas.
  • Menghentikan penunjukan personel TNI dan Polri aktif di jabatan sipil.
  • Mengembalikan TNI/Polri pada fungsi pertahanan dan keamanan, sementara jabatan sipil harus tunduk pada meritokrasi.

Dominasi Militer dan Dampaknya bagi Supremasi Sipil

Kepala Pusham UII, Eko Riyadi, memaparkan bahwa peran militer menguat dalam seluruh aktivitas pemerintahan, dari hal remeh hingga jabatan penting. Contoh nyata adalah dominasi purnawirawan TNI/Polri di Badan Gizi Nasional dan pola terpusat militer dalam program MBG.

Pelibatan militer dalam program seperti lumbung pangan dan Koperasi Merah Putih, menurut Eko, dianggap sebagai "operasi militer selain perang". Praktik ini berisiko melemahkan supremasi sipil, menghilangkan kewenangan pemerintah daerah, dan membuat masyarakat berhadapan langsung dengan militer jika terjadi konflik.

Demokrasi yang Mandek dan Nostalgia Otoritarianisme

Kepala PUSAD UII, Masduki, memperingatkan bahwa tidak ada negara dengan unsur militer kuat yang berhasil menuju demokrasi, seperti contoh Thailand dan Myanmar. Dia melihat otoritarianisme ala Orde Baru kembali hidup di Indonesia, didukung oleh nostalgia publik melalui slogan-slogan seperti "Piye kabare? Isih penak zamanku to?".

Menurut Masduki, demokrasi Indonesia saat ini hanya berhenti pada prosedur, bukan substansi. Pemerintahan menjalankan praktik otokratik legalisme, di mana pemimpin otoriter menggunakan produk hukum untuk memperkuat kekuasaan dan melemahkan fungsi kontrol dalam negara demokratis.

"Demokrasi dan reformasi telah berhenti," tegas Masduki, menyimpulkan keprihatinan mendalam dari gerakan masyarakat sipil terhadap arah pemerintahan saat ini.

Halaman:

Komentar