'Era Jokowi Meninggalkan Warisan Utang dan Persoalan Hukum'
Oleh: Heri Sebayang SH
Aktivis 98
Masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama dua periode meninggalkan permasalahan yang signifikan dalam berbagai aspek, terutama dalam bidang ekonomi dan hukum.
Warisan kebijakan yang ditinggalkan tidak hanya membawa dampak positif tetapi juga menyisakan sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintahan berikutnya.
Dua isu yang paling banyak disoroti adalah meningkatnya utang negara dan berbagai persoalan hukum yang muncul selama maupun setelah kepemimpinannya.
Salah satu kebijakan utama Jokowi adalah pembangunan infrastruktur yang masif, yang dilakukan dengan mengandalkan pinjaman dalam dan luar negeri. Total utang pemerintah meningkat secara signifikan selama pemerintahannya.
Pada awal kepemimpinan Jokowi di tahun 2014, total utang pemerintah berada di kisaran Rp 2.600 triliun, sementara pada akhir masa jabatannya di tahun 2024, angka tersebut mendekati Rp 8.444,87 triliun.
Tahun Utang dalam bentuk triliun
2014 2.608,78
2015. 3.165,13
2016 3.515,02
2017 3.938,70
2018 4.418,30
2019 4.779,28
2020 6.074,56
2021 6.908,87
2022 7.733,99
2023 8.000,00
2024 8.444,87
Data Kementerian Keuangan
Pemerintahan Jokowi mengklaim bahwa peningkatan utang ini digunakan untuk investasi jangka panjang yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti jalan tol, bandara, dan proyek kereta cepat. Namun, kritik bermunculan mengenai efektivitas investasi ini.
Beberapa proyek infrastruktur menghadapi kesulitan dalam memberikan return on investment yang diharapkan, sehingga memunculkan kekhawatiran terkait keberlanjutan fiskal negara.
Selain itu, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mengalami peningkatan. Walaupun masih dalam batas aman menurut standar internasional, namun tekanan terhadap anggaran negara semakin besar karena meningkatnya pembayaran bunga utang.
Untuk menutupi utang, Pemerintah Jokowi berupaya meningkatkan rasio pajak terhadap PDB dengan memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, dan menerapkan berbagai insentif serta sanksi bagi pelanggar pajak.
Selama era Jokowi, rasio pajak (perbandingan antara penerimaan pajak) mengalami fluktuasi sebagai berikut:
2015: 10,76%
2016: 10,36%
2017: 9,89%
2018: 10,24%
2019: 9,76%
2020: 8,33% (terendah, dipengaruhi oleh pandemi COVID-19)
Meskipun terdapat upaya untuk meningkatkan rasio pajak, capaian tersebut belum mencapai target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024, yaitu 10,7%—12,3%.
Untuk menggenjot penerimaan pajak, pemerintah Jokowi pada April 2022 menaikkan Tarif PPN naik dari 10% menjadi 11%.
Artikel Terkait
Cara Menulis Artikel SEO yang Efektif: Panduan Lengkap untuk Pemula
Yayasan Sahabat Pedalaman Juara 1 Mandaya Awards 2025, Bukti Nyata Pemberdayaan 3T
Fakta Gadai Mobil Pajero untuk Selamatkan Bilqis dari Suku Anak Dalam
Menteri Keuangan Purbaya Ungkap Modus Pencatutan Harga Impor: Barang Rp 45 Juta Dicatat Cuma Rp100 Ribu