Hari ini, kita melihat bagaimana rakyat diajak bersorak untuk proyek-proyek mercusuar, sementara pendidikan dan intelektualitas diabaikan.
Ibu Kota Nusantara (IKN) dipromosikan sebagai kebanggaan, padahal ia adalah monumen dari ambisi kosong.
Anggaran miliaran mengalir untuk upacara seremonial, sementara anak-anak negeri ini kesulitan mengakses pendidikan berkualitas.
Mereka yang mempertanyakan prioritas ini dianggap sebagai pengganggu, bukan sebagai patriot sejati.
Ketika kecerdasan menjadi ancaman, maka kebenaran dikubur oleh propaganda. Ketika pertanyaan dianggap penghinaan, maka kebebasan berpikir perlahan mati.
Negeri ini, yang dahulu dibangun dengan gagasan besar dan idealisme, kini tenggelam dalam gelombang pembodohan massal.
Setiap kritik disambut dengan tuduhan makar, setiap argumen dijawab dengan slogan kosong.
Inilah zaman di mana mengungkap fakta berarti melawan arus, di mana menjadi cerdas berarti memilih jalan sunyi yang penuh risiko.
Tapi sejarah mengajarkan bahwa badai kebodohan takkan selamanya bertahan. Lilin yang tertiup angin masih bisa dinyalakan kembali. Akal sehat mungkin dihujat hari ini, tetapi ia takkan mati.
Sebab, sesungguhnya, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang membungkam kecerdasannya sendiri, melainkan bangsa yang berani merangkul pemikiran-pemikiran terbaik demi masa depan yang lebih baik.
Maka, tetaplah berpikir, meskipun itu berbahaya. Sebab, di tengah zaman ketika kebodohan dianggap sebagai patriotisme, menjadi cerdas adalah bentuk perlawanan paling hakiki. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Fakta Lengkap Kasus Bilqis & Suku Anak Dalam: Kronologi, Motif, dan 9 Pertanyaan Kunci Terjawab
ODGJ Klaim Nabi Picu Keributan dan Diusir dari Bus di Terminal Purabaya
Presiden Prabowo Janji Perjuangkan Kesejahteraan Rakyat, Tolak Kemiskinan di Abad 21
Selvi Ananda Tekankan Pentingnya PAUD untuk Fondasi Karakter, Bukan Akademik