Bau Amis di Piring Gratis: 'Waspadai Drama Baru Skandal Besar Korupsi MBG'
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dikelola Badan Gizi Nasional (BGN) terus menjadi perhatian publik. Sorotan dugaan penyelewengan satu demi satu bermunculan. Kalau dibiarkan, program yang menghabiskan anggaran hingga triliun rupiah per hari ini bakal melahirkan drama baru skandal besar korupsi di kemudian hari.
Mimpi besar Program Makan Bergizi Gratis atau MBG seolah mulai berubah menjadi bayangan kelam. Program ini dicanangkan untuk meningkatkan asupan gizi anak-anak Indonesia, tetapi yang muncul di lapangan justru sederet masalah. Hari demi hari, ketidaksempurnaan pada program Makan Bergizi Gratis atau MBG mengemuka.
Sejak awal sudah muncul masalah mulai dari anggaran yang terlalu besar sehingga memberatkan keuangan negara, monopoli penyediaan wadah makanan hingga insiden keracunan makanan puluhan siswa SD di Sukoharjo, Jawa Tengah. Ternyata masalahnya tidak berhenti sampai disitu tetapi ditemukan hal-hal baru mulai dari dugaan fraud, kecurangan, permainan anggaran, hingga pertanyaan tentang kualitas makanan.
Salah satu pemicu kecurangan itu timbul sebagai akibat dari tergesa-gesanya pemerintah dalam mewujudkan program yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto itu. Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai pelaksana program dinilai banyak kalangan masih lemah dalam aturan, praktik, maupun perangkat kerja hingga ke daerah. Akibatnya, terlihat program unggulan yang sudah memasuki bulan ketiga ini berjalan seperti masih trial and error. Malahan berkembang dengan indikasi penyelewengan.
Misalnya pemotongan anggaran per porsi yang menimbulkan kekhawatiran penurunan kualitas dan kuantitas makanan yang disajikan kepada penerima manfaat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengendus adanya potensi penyimpangan dalam pelaksanaan program prioritas pemerintah yang sudah dimulai sejak 6 Januari 2025 itu.
“Kami sudah menerima laporan adanya pengurangan makanan yang seharusnya diterima senilai Rp10.000, tetapi yang diterima hanya Rp8.000,” ujar Setyo Budiyanto, Ketua KPK, pekan lalu.“Mengingat anggaran program yang besar, potensi terjadinya kecurangan tetap tinggi,” tambahnya.
Selain itu, KPK juga menyoroti kesulitan pengawasan dana MBG yang terpusat di BGN, tetapi pelaksanaannya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. “Yang menjadi kekhawatiran, karena posisi anggaran di pusat, jangan sampai begitu sampai di daerah seperti es batu (yang mencair),” ujarnya.
Apa tanggapan BGN? Kepala BGN Dadan Hindayana menjelaskan mengenai perbedaan pelaksanaan program MBG di lapangan. “KPK belum mendapat penjelasan bahwa pagu bahan baku berbeda dari awal. Anak PAUD-SD kelas 3 patokannya Rp8.000, anak lainnya Rp10.000,” jelasnya.
Dadan juga menjelaskan, pagu bahan baku untuk program MBG sendiri telah disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. “Misalnya Papua, Puncak Jaya Rp59.717, dan lain-lain, penggunaan anggaran bahan baku ini sifatnya at cost. Kalau kelebihan akan dikembalikan, kalau kekurangan akan ditambah," jelas Dadan.
Tapi apakah ini cukup menjawab dugaan ketidakwajaran yang terjadi? Ataukah ini hanya menenangkan publik sambil menunggu isu ini meredup? Publik masih menunggu keterbukaan informasi tentang ini.
Munculnya dugaan ini juga akibat minimnya transparansi dalam tata kelola program termasuk mekanisme pengadaan MBG yang meliputi bahan pangan dan kemasan sehingga pada akhirnya, membuka peluang terjadinya penyimpangan. Informasi terkait anggaran, pola kerja sama, dan teknis pelaksanaan program sering kali tidak terbuka untuk publik. Akibatnya bisa memicu monopoli, penyalahgunaan kekuasaan, atau persaingan usaha tidak sehat. Indonesia Corruption Watch (ICW) sudah menyoroti masalah ini.
Potensi fraud lainnya adalah penunjukan langsung penyedia jasa. Dalam proses pengadaan, terdapat dugaan bahwa beberapa pihak mendapatkan perlakuan khusus dalam penentuan satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) atau dapur MBG. Dana yang terpusat di BGN juga berisiko mengalami "kebocoran" saat sampai di daerah, terutama di wilayah terpencil.
Belum lagi indikasi penyelewengan terkait dominasi produk Mayora dalam menu MBG selama Ramadan, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai keberpihakan terhadap korporasi besar dan pengabaian terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). “Program MBG justru tidak mencerminkan prinsip gizi seimbang. Inilah membuat kebijakan jadi terkesan tidak konsisten,” papar Rissalwan Handy, pengamat sosial Universitas Indonesia, kepada Inilah.com baru-baru ini.
Artikel Terkait
Ulat di Menu MBG Diklaim Tinggi Protein, Benarkah Aman Dikonsumsi?
Ray Rangkuti Angkat Tangan Analisis Gibran: Gak Punya Kosakata Lagi
Polres Muara Enim Gagalkan Bandar Narkoba, 97 Gram Sabu dan 150 Pil Ekstasi Disita
Mahfud MD Ungkap 3 Kejanggalan Proyek Kereta Cepat Whoosh: Skema B2B Berubah, Bunga 2000%, hingga KPK Turun Tangan