Sejak awal program ini digelar, desakan untuk melakukan evaluasi dan audit terus menggema. Termasuk mekanisme pengadaan, distribusi, dan kualitas makanannya. Evaluasi juga termasuk meningkatkan transparansi penggunaan anggaran untuk memastikan dana digunakan efektif dan efisien.
Sudah lama para pengamat mengingatkan, salah satunya pengamat politik Citra Institute Efriza tentang kemungkinan program ini akan banyak masalah dalam praktiknya, baik penyalahgunaan oleh oknum, maupun praktik korupsi yang dilakukan pejabat terkait.
“Untuk mencegah bancakan korupsi dalam program MBG, BGN perlu memperkuat seluruh regulasi seperti petunjuk pelaksana dan teknis, aturan kerja sama maupun pengawasan dan sanksinya,” ujar Efriza. Apakah itu sudah dilakukan?
“Potensi penyalahgunaan dari sisi anggaran tinggi, karena tata kelolanya tertutup dan hanya dilakukan segelintir pihak,” tambah Dewi Anggraeni Puspitasari Naipospos, peneliti ICW, kepada media. Karenanya ia mendesak BGN sebagai tonggak pelaksanaan MBG melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kinerja mereka. Evaluasi itu mencakup jaminan keterbukaan informasi kepada publik soal perkembangan dan hasil pelaksanaan program MGB.
Berpotensi Menciptakan Skandal Besar
Program MBG sebenarnya memiliki niat mulia, walaupun tampak klise, untuk meningkatkan asupan gizi anak-anak Indonesia, terutama di kalangan pelajar. Namun, melihat sistem birokrasi dan tata kelola anggarannya, ada sejumlah indikator yang menunjukkan bahwa program ini berpotensi menjadi skandal korupsi besar jika tidak diawasi dengan ketat.
Sejarah mencatat semakin besar dana yang dikelola, semakin besar pula risiko korupsi. Kasus korupsi Bansos COVID-19 dan korupsi Dana Desa bisa menjadi preseden buruk, di mana dana yang seharusnya digunakan untuk rakyat malah dikorupsi oleh oknum pejabat.
Program yang melibatkan pengadaan dalam jumlah besar juga sering kali membuka celah bagi permainan tender. Jika proses lelang tidak dilakukan secara transparan, bisa saja proyek ini jatuh ke tangan perusahaan yang memiliki koneksi dengan pejabat, bukan karena kompetensi, tetapi karena praktik persekongkolan dan suap.
Lembaga antikorupsi sudah mengingatkan tentang potensi kemungkinan terjadinya hal itu. Pemotongan anggaran per porsi dan ketidaksesuaian alokasi dana dengan realisasi di lapangan menjadi salah satu modus dugaan praktik mark-up dan pengadaan fiktif. Jika dibiarkan, pola ini bisa berkembang seperti kasus-kasus sebelumnya, misalnya skandal pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) COVID-19 yang harganya digelembungkan secara tidak wajar.
Bisa jadi jumlah penyelewengan dananya terlihat kecil misalnya hanya selisih Rp1.000-2.000 namun jika dikalikan dengan jutaan porsi setiap hari tentu akan menjadi dana yang sangat besar. Inilah modus korupsi ‘kecil-kecil’ yang jika dikumpulkan menggunung menjadi skandal besar.
Kita sudah melihat bagaimana proyek dengan embel-embel kesejahteraan rakyat justru menjadi ajang bancakan para elite. Pertanyaannya, MBG ini benar-benar untuk rakyat, atau hanya jadi proyek "makan bergizi" bagi segelintir orang?
Pemerintah harus segera memperbaiki sistem pengelolaan, memastikan bahwa setiap rupiah benar-benar sampai ke masyarakat yang membutuhkan, serta melibatkan KPK, dan BPK. Kalau perlu meningkatkan pelibatan masyarakat sipil dan organisasi independen dalam proses pengawasan.
Jika tidak, program ini bisa menjadi bencana keuangan negara mengulangi sejarah kelam korupsi di Tanah Air dengan berlanjutnya episode demi episode skandal besar yang melelahkan. Dan, lagi-lagi rakyat kembali menjadi korbannya.
***
Sumber: Inilah
Artikel Terkait
Kronologi Lengkap Truk Tangki BBM Terbakar di Cianjur: 6 Ruko Hangus, Ledakan & Korban Luka Bakar
Badan Gizi Nasional Laporkan Mobil Palsu SPPG Angkut Babi ke Polisi
Utang Jokowi Tembus Rp 9.138 Triliun, Purbaya Buka Kotak Pandora Ekonomi
Onadio Leonardo Ditangkap Polisi: Kronologi, Barang Bukti, dan Pemasok Narkoba