Ketika menteri-menteri seperti Bahlil lebih rajin “menghadap” ke rumah Jokowi di Solo dibanding rapat bersama Presiden di Istana, dan ketika tokoh seperti Zulhas tetap bermain cantik dengan semua pihak, maka kita harus sadar: yang sedang terjadi bukan sekadar kerja pemerintahan. Ini adalah kontestasi kuasa di panggung tertutup.
Pertanyaannya tinggal satu:
Apakah Prabowo bisa membaca permainan ini lebih cepat sebelum permainannya selesai?
Kaki di Dua Perahu: Menteri-Menteri Galau Antara Jokowi dan Prabowo
Panggung politik Indonesia kembali memanas, tak lama setelah pertemuan mengejutkan antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri mencuat ke publik.
Alih-alih meredakan spekulasi, suasana justru makin riuh ketika sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju terlihat sowan ke rumah pribadi Presiden Joko Widodo di Solo.
Di antara mereka, nama Bahlil Lahadalia mencuat sebagai figur yang paling rajin “menghadap.” Bukan ke kantor, bukan ke istana, tetapi ke rumah Jokowi.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Kabinet yang Tak Lagi Satu Komando
Secara normatif, para menteri adalah pembantu presiden. Tapi dalam politik Indonesia yang cair, posisi menteri bisa bermakna ganda.
Mereka bisa menjadi operator kebijakan sekaligus aktor politik yang menanamkan kesetiaan pada siapa yang dianggap akan (atau masih) berkuasa.
Kunjungan Bahlil dan beberapa menteri lainnya ke Jokowi bisa dibaca dalam bingkai itulah. Ini bukan sekadar silaturahmi, apalagi basa-basi lebaran.
Dalam konteks suhu politik yang tengah mendidih, langkah itu lebih menyerupai manuver politik—bahkan mungkin sinyal kesetiaan.
Mereka seolah ingin menyatakan bahwa meski Prabowo sedang bersiap mengambil tongkat estafet, loyalitas mereka belum tentu berpindah arah.
Kondisi ini menunjukkan adanya pembelahan yang nyata dalam tubuh kabinet. Sebagian merasa bahwa masa depan mereka masih berada dalam orbit Jokowi.
Sementara sebagian lain mulai menoleh ke arah Prabowo—entah karena peluang kekuasaan, tekanan politik, atau sekadar insting bertahan hidup.
Bahlil dan Loyalitas Berganda
Nama Bahlil Lahadalia menjadi salah satu contoh paling jelas dari dinamika ini.
Sebagai Menteri Investasi yang dikenal dekat dengan Jokowi, Bahlil bukan hanya pembantu presiden, tetapi juga loyalis yang kerap menjadi juru bicara tak resmi kebijakan strategis pemerintah.
Ia hadir dalam banyak momentum penting Jokowi, dan dalam berbagai kesempatan, menyampaikan pujian terbuka terhadap gaya kepemimpinan sang presiden.
Namun, pasca-Pilpres 2024, arah angin mulai berubah. Ketika Prabowo dipastikan menang, publik tentu bertanya: akan ke mana Bahlil?
Apakah ia akan bermigrasi secara utuh ke barisan Prabowo, atau tetap memelihara kedekatan dengan Jokowi?
Kunjungan ke Solo menjawab sebagian dari pertanyaan itu. Di tengah spekulasi pergeseran politik nasional, Bahlil tampaknya masih menaruh kepercayaan dan kesetiaan kepada Jokowi.
Bahkan, ia seolah menempatkan Jokowi bukan sebagai “mantan presiden,” tetapi sebagai patron politik yang tetap harus dilapori dan dimintai restu.
Kabinet dalam Ketegangan Transisi
Situasi ini menimbulkan dilema baru dalam proses transisi kekuasaan. Kabinet Jokowi belum resmi berakhir, tetapi atmosfernya sudah tak lagi utuh.
Beberapa menteri mulai memainkan dua kaki: melaksanakan tugas kenegaraan sembari membangun jejaring baru untuk masa depan mereka sendiri.
Yang lebih serius, sejumlah di antara mereka bahkan terang-terangan menunjukkan loyalitas personal yang belum tentu linier dengan struktur formal kekuasaan pasca-2024.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: bagaimana Prabowo akan membangun kabinet yang solid jika sejumlah menteri warisan Jokowi masih merasa berutang loyalitas kepada sang patron lama?
Dalam sistem presidensial, loyalitas terhadap presiden seharusnya bersifat tunggal dan tak terbagi. Tapi di Indonesia, loyalitas menteri seringkali menjadi persoalan politik tersendiri.
Ketika seorang menteri lebih patuh kepada orang yang mengangkatnya ketimbang kepada pemimpin baru, maka stabilitas pemerintahan bisa terganggu sejak awal.
Politik Personal dan Bayang-Bayang Jokowi
Fenomena loyalitas menteri kepada Jokowi menunjukkan bahwa politik Indonesia masih sangat bertumpu pada figur, bukan institusi.
Presiden bukan hanya pemegang kekuasaan eksekutif, tetapi juga simbol perlindungan politik bagi banyak elite.
Maka tak heran jika Jokowi tetap menjadi pusat gravitasi, bahkan ketika masa jabatannya hampir habis.
Namun, ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi Prabowo. Jika ia ingin membangun pemerintahan yang efektif dan otonom, ia harus memastikan bahwa menteri-menterinya tunduk kepada garis komando yang baru. Bukan pada patron yang telah usai, betapapun kuat pengaruhnya secara politik maupun emosional.
Penutup: Transisi yang Tak Sesederhana Prosesi
Kunjungan menteri-menteri ke rumah Jokowi menjadi penanda bahwa transisi kekuasaan bukan sekadar prosesi administratif, tetapi pertarungan pengaruh yang sesungguhnya.
Ketika loyalitas tidak berpindah seiring mandat rakyat, maka stabilitas pemerintahan di masa depan bisa terganggu bahkan sebelum ia dimulai.
Prabowo tentu menyadari hal ini. Dan jika ia ingin membangun pemerintahan yang solid, langkah pertama yang harus ia ambil bukan sekadar memilih menteri yang pintar, tetapi memastikan mereka memiliki loyalitas yang tak bercabang.
***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Yusuf Muhammad Kritik Respons Gibran Soal CPNS: Dinilai Kosong dan Minim Optimalisasi
Dina Meninggal Dunia, Fitnah Heryanto Menghantui: Fakta atau Rekayasa?
Surya Paloh Temui Sjafrie Sjamsoeddin, Isyarat Politik Apa di Balik Pertemuan Ini?
Menteri Agama Sebut Pemberitaan Kejahatan Seksual di Pesantren Sering Dibesar-besarkan