Habibie pun saat itu tak terlalu menanggapi pernyataan Lee. Tapi ketika kemudian menjadi Presiden menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, dia melontarkan serangan balasan. Kepada 'Asian Wall Street Journal' yang mewawancarainya, Habibie menganggap sepele Singapura.
"Dalam peta, satu titik kecil berwarna merah (little red dot) tak sebanding dengan bentangan warna hijau yang sangat luas," katanya dalam wawancara yang terbit 4 Agustus 1998.
Tak cuma itu, Habibie kemudian membuktikan bahwa ucapan Lee tentang nilai tukar rupiah keliru. Sebab nyatanya ia berhasil menstabilkan nilai tukar rupiah dari Rp 16 ribu menjadi Rp 9 ribu pada 1999.
Lee pun meminta maaf dan menyampaikan pujian lewat surat yang dititipkan melalui Menteri BUMN Tanri Abeng.
Sebaliknya sejumlah pihak di tanah air, seperti Barisan Nasional yang dimotori mantan Pangkostrad Letjen Achmad Kemal Idris, dan pakar hukum Prof Dimyati Hartono terus merongrong Habibie.
Mereka menyebut naiknya Habibie menggantikan Soeharto yang lengser keprabon tak sah.
Ketika Pemilu 1999 menghasilkan PDI sebagai pemenang, idealnya yang paling berhak dipilih utuk menjadi Presiden kala itu adalah Megawati.
Sebab dialah ketua umum partai pemenang pemilu. Faktanya tidak, karena proses pemilihan dilakukan oleh MPR.
Sejumlah pihak, terutama Poros Tengah yang dimotori Amien Rais, kemudian berhasil menjegalnya.
Alasan yang kuat mengemuka adalah karena Megawati seorang perempuan sehingga menyalahi nilai-nilai kepemimpinan dalam Islam. Alasan lain kalau boleh disebut secara gamblang adalah kemampuan personal Megawati.
Maklum, selama berkiprah sebagai politisi dia kurang melakukan komunikasi publik alias lebih banyak diam. Hal ini ada yang mengaitkan dengan latar pendidikannya yang tak tamat perguruan tinggi.
Hasilnya, KH Abdurrahman Wahid yang secara objektif sebetulnya kurang sehat penglihatannya terpilih menjadi Presiden, dan Megawati menjadi wakilnya.
Ketika di era pemilu langsung terpilih sosok Jusuf Kalla (JK) sebagai wapres, publik juga rebut.
Sebab sepak terjang JK yang terkesan lebih sregep seolah hendak menyaingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peran wapres yang seharusnya menjadi pendamping justru lebih terkesan sebagai pesaing.
Kembali ke isu tuntutan Forum Purnawirawan agar MPR mengganti Gibran, penulis menilai mereka gagal memahami esensi demokrasi. Juga tak paham konstitusi, khususnya Pasal 7A dan 7B UUD 1945.
Pasal 7A UUD 1945 menetapkan alasan-alasan pemakzulan presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya, baik bila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden.
Pada Pasal 7B UUD 1945, usul pemberhentian presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara dan tindak pidana berat lainnya atau presiden dan atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden.
Dari esensi demokrasi, para purnawirawan maupun para tokoh lainnya yang merongrong Presiden dan Wapres terpilih alangkah eloknya memahami kembali nasehat cendekiawan muslim Prof Nurcholis Madjid (Cak Nur).
Rektor Universitas Paramadina itu kerap melontarkan satire yang penting dipahami bersama bila sebuah negara dan bangsa menerima dan memutuskan menganut sistem demokrasi.
Siapa pun yang dipilih rakyat, kata Cak Nur dalam wawancara dengan Tempo edisi 28 April - 4 Mei 2003, itulah pilihan yang harus diterima dan dihormati.
Mungkin saja pilihan mayoritas rakyat itu adalah orang yang lemah atau orang buta huruf, ia melanjutkan, tapi itu absah.
"Setan gundul pun, kalau jadi presiden (wakil presiden) pilihan rakyat, apa mau dikata," Cak Nur menegaskan.
Di saat negeri ini butuh soliditas dan kebersamaan dalam menghadapi tantangan ke depan yang tidak ringan, kita semua hendaknya bersikap lebih arif dan bersabar.
Hingga 2029 nanti mari hargai 96 juta suara rakyat yang memilih Prabowo-Gibran dalam Pemilihan Presiden 2024.
Jika tak puas, silahkan ajukan dan dukung calon yang dinilai lebih cakap di pilpres 2029.
***
                        
                                
                                            
                                            
                                            
                                                
                                                
                                                
                                                
                                                
                                                
Artikel Terkait
5 Fakta Mengerikan Ahmad Sahroni Saat Rumah Dijarah, Muncul Setelah 2 Bulan!
KPK OTT Riau: Gubernur dan 9 Tersangka Lain Dibawa ke Jakarta
Projo Belum Jadi Parpol, Pengamat Sebut Tidak Punya Nyali? Ini Alasannya
Ray Rangkuti Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto, Ini Alasannya