IJAZAH PALSU: Jaksa dan Hakim Berbayar

- Minggu, 04 Mei 2025 | 10:30 WIB
IJAZAH PALSU: Jaksa dan Hakim Berbayar


IJAZAH PALSU: 'Jaksa dan Hakim Berbayar'


Oleh: Budi Akbar


Ini bukan barang baru, sudah lama ada. Yang bisa dibayar jasanya bukan cuma pengacara, tetapi juga Jaksa, Hakim, dan tentu saja Polisi untuk mengurus dan menyelesaikan sebuah laporan perkara hukum.


Kami teringat pada saat di persidangan, awal 2018 lalu, JPU yang ditugaskan menuntut kami kelabakan dimarahi hakim, karena surat tuntutan tidak lengkap, karena banyak alat dan barang bukti yang tidak dilegalisir secara sah menurut ketentuan undang-undang hukum acara pidana.


Karenanya kami menyebutkan, bahwa perkara kami dilimpahkan ke persidangan BAP nya masih dalam tahap P19 (berkas perkara tindak pidana dinilai belum lengkap), dan masa penahanan kami di Polda Sumbar sudah melewati ketentuan penahanan maksimum 60 hari menurut aturannya, dan sudah lebih 1 hari.


Mendadak pada sekitar tanggal 19 Januari 2018 kami dipindahkan dari tahanan Polda menjadi tahanan Kejaksaan, dititipkan di Lapas Lubuk Basung. Sebelumnya ditangkap dan langsung ditahan pada 18 November 2017. 


Yang seharusnya sudah dilimpahkan ke Kejari pada tanggal 17 Januari 2018. Secara administratif menurut KUHAP melanggar aturan beracara yang jelas-jelas disebutkan maksimal 60 hari penahanan dalam rangka penyidikan tingkat pertama di kepolisian. 


Jika lebih, maka harus dibebaskan. Tetapi bukan itu yang terjadi. Kami tetap dipenjarakan dengan berkas BAP yang statusnya masih P19. Hebat polisi dan Jaksa itu bukan?.


Nah, ketika sudah masuk masa persidangan awal, JPU membacakan surat tuntutan, banyak berkas-berkas yang memang tidak disiapkan, atau lebih tepatnya tidak ada, dan hakim memerintahkan harus diadakan. 


Antara lain kelengkapan alat bukti permulaan yang tidak memenuhi syarat perundangan-undangan.


Pada proses pembuktian setelah kami membacakan pledoi, juga beberapa barang bukti yang seharusnya menjadi petunjuk untuk mentersangkakan kami, juga sudah berubah, hilang dan rusak. 


Salah satunya, akun Facebook serta berbagai program aplikasi dalam perangkat komunikasi (handphone) yang dengan itu kami ditersangkakan. 


Sehingga tidak bisa ditampilkan di media/layar/perangkat elektronik yang sudah ada di persidangan, Bahkan JPU hanya berdalih, habis baterai. 


Padahal ketika di sita, charger kami diambil polisi, dan secara inventaris tidak dituliskan dalam daftar alat/barang bukti.


Tetapi kemudian, JPU menuduh kami dengan narasi umum yang biasa mereka gunakan yaitu, bahwa "terdakwa memberikan keterangan berbelit-belit". 


Padahal fakta pertandingan menunjukkan JPU dan para penyidik Polda lah yang bertele-tele sehingga majelis hakim sempat memberikan peringatan beberapa kali untuk melengkapi berkas tuntutan dan kesaksian.


Selanjutnya, di sidang-sidang berikutnya, majelis hakim yang ditunjuk semula menyidangkan perkara yang dituduhkan kepada kami, bergonta ganti, mulai dari anggota pengadilan sampai pembacaan putusan sela yang dilakukan oleh ketua pengadilan negeri Lubuk Basung saat itu. 


Demikian juga Denga JPU nya yang seringkali tidak hadir secara lengkap. 


Lain orang yang menyusun berkas tuntutan, lalu saat bersidang, lain lagi orang yang membacakan. 


Besoknya lain lagi JPU yang hadir untuk membantah dalil-dalil yang kami uraikan di persidangan.


Selain itu, saksi ahli yang dihadirkan penyidik Polda dan JPU, diantara 3 orang, hanya 1 orang yang memberatkan kami. 


Dan itupun baru pertama kalinya dia menjadi saksi ahli. Yang dicomot dari Kanwil Kemenag.


Sehingga semula, tuntutan terhadap kami pencemaran nama baik Jokowi dengan pasal 310, 311 KUHP, pasal penghinaan terhadap institusi Polri dan berbagai jenis pasal karet UU ITE 2016 yang direvisi masa Tito Karnivora itu pun berguguran.


Akhirnya nyangkut dengan pasal 45A ayat 2 UU ITE dengan tuduhan menyebarkan kebencian.


Dengan itulah kami divonis bersalah, padahal bukti-bukti dan bahkan keterangan saksi ahli pidana dan ahli bahasa sudah menguraikan, bahwa apa yang kami tuliskan adalah opini atau pendapat yang dasarnya justeru dilindungi oleh undang-undang yang lebih tinggi yaitu konstitusi negara. 


Sehingga para pengacara LBH Padang yang pembela kami secara gratis pun terheran-heran dengan dasar pertimbangan putusan majelis hakim PN Lubuk Basung.


Cerita ini kami review untuk mengingatkan bahwa, secara historis sindikasi kejahatan negara mulai dari tingkat pelaporan, penerimaan laporan, penindakan hingga proses persidangannya sangat mungkin terjadi kepada anda yang punya pengetahuannya banyak tentang kejahatan-kejahatan terorganisir yang dilakukan oleh pemerintahan negara.


Bukan tidak mungkin setelah Rismon, Roy Suryo, Tifa, dan 2 orang lainnya yang dilaporkan oleh Jokowi dengan tuduhan menghasut itu, juga akan menjadi giliran anda.


Ngomong-ngomong itu yang melapor, sedang membuat laporan tuduhan kena fitnah atau melaporkan kehilangan ijazah palsu, atau mungkin sedang melaporkan kehilangan otaknya?


Kelincahan jari-jari netijen 62 jangan coba dilawan.


Salam Fufufafa


👇👇



Komentar