Prabowo lahir dari keluarga yang heterogen baik dari segi latar belakang agama maupun suku bangsa.
Persentuhannya dengan budaya dan pendidikan Eropa sejak SMP menjadikannya berwawasan global—dan menambah pluralitas dalam dirinya.
Prabowo kemudian menikah dengan Titiek Soeharto yang beragama Islam, dan dekat dengan tokoh-tokoh Islam sejak muda.
Di lettingnya, Prabowo dimasukkan ke dalam perwira “hijau” karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh Islam itu.
Pergaulannya yang luas membuat Prabowo menjadi orang yang semakin lentur dalam beradaptasi dengan budaya dan lingkungan baru.
Sebagai orang yang lahir dari keluarga setengah Jawa, Prabowo cukup memahami unggah-ungguh Jawa.
Dia paham apa itu high-context culture yang melekat dalam budaya Jawa—yaitu suatu tradisi yang menghargai komunikasi dengan simbol dan gestur, bukan bahasa verbal yang terang-terangan.
Yaitu suatu budaya yang mensyaratkan pemahaman pada apa yang tersirat di samping pada apa yang tersurat.
Karenanya, bagi mereka yang memahami budaya Jawa dengan baik, pendekatan Prabowo pada kompleksitas hubungannya dengan Jokowi harus dipahami dalam kerangka ini.
Prabowo tahu bahwa rakyat menolak Gibran dengan keras, tetapi dia harus mengesampingkan penolakan itu untuk tujuan yang lebih besar.
Dia juga harus pintar dan hati-hati menangani tuntutan mengadili Jokowi karena Jokowi telah berjasa mengantarkannya menang pada Pemilu 2024.
Memahami konteks sosial dan budaya ini, maka bagi sebagian orang, teriakan “hidup Jokowi” dan pujian-pujiannya itu memiliki arti sebaliknya.
Bukan apa yang terkatakan, tetapi apa yang terjadi dan berlaku di ruang publik secara nyata itulah pesan yang sebenarnya.
Bahwa kemudian Prabowo membatalkan mutasi Letjen Kunto dari jabatan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I menjadi Staf Khusus Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) untuk digantikan oleh orangnya Jokowi merupakan sinyal nyata Prabowo sedang melakukan operasi senyap: puji terus, tetapi gergaji kekuatan Jokowi sedikit demi sedikit.
Langkah catur Prabowo yang kemudian tidak mengizinkan mundurnya Hasan Nasbi “kepala babi”—orang yang sejak awal dikenal sebagai orangnya Jokowi—sebagai juru bicara Istana dimaksudkan untuk menimbulkan kesan draw, permainan berimbang.
Bahwa dikembalikannya Hasan Nasbi menjadi juru bicara Istana merupakan pertukaran atas dikembalikannya Letjen Kunto ke posisi semula.
Tetapi semua analis tentu paham bahwa posisi juru bicara Istana jelas jauh kalah strategis dibandingkan dengan posisi Pangkogabwilhan.
Bila terjadi huru-hara politik, yang akan punya kontribusi menyelamatkan posisi Prabowo secara riil di lapangan bukanlah juru bicara Istana, tetapi Pangkogabwilhan. Sesederhana itu kita membaca langkah bidak permainan catur ini.
Bila naskah delapan tuntutan para purnawirawan sudah dipersiapkan sejak Februari, dan Prabowo dengan begitu meyakinkan berjanji akan ada kejutan setelah enam bulan, maka ini sangat susah dianggap sebagai hal yang terpisah dan berjalan sendiri-sendiri.
Kedekatan Prabowo dan Try Sutrisno yang duduk satu meja dalam acara halal-bihalal purnawirawan TNI AD memperkuat analisis bahwa Prabowo menyetujui penggantian Gibran. Bahkan mungkin sudah lama Prabowo berkomunikasi dengan para purnawirawan.
Untuk kasus ijazah palsu pun Prabowo kelihatan membiarkan perkara ini berkembang seperti apa adanya dan membiarkan Jokowi berjuang sendiri.
Prabowo tidak kelihatan melindungi Jokowi—hal yang tentu berbanding terbalik dengan puja-puji verbal terhadap “mentor” politiknya itu. Sangat besar kemungkinan inilah yang membuat Jokowi kelihatan khawatir dan risau.
Harapan Jokowi satu-satunya kini terletak pada Kapolri Listyo Sigit, orang dekatnya, yang sedang menangani proses hukum ijazahnya. Penyelidikan sudah berlangsung selama sebulan sejak adanya pengaduan ke Bareskrim.
Penyelidikan sudah rampung sekitar 90 persen, dan sisa 10 persen menunggu hasil uji laboratorium forensik Bareskrim.
Drama ini penuh ketegangan. Rakyat hanya akan percaya bila hasil uji forensik menunjukkan ijazah Jokowi memang palsu adanya.
Bila dinyatakan asli, rakyat akan menolaknya, rakyat tidak akan percaya. Penyebabnya dua hal.
Pertama, karena kepolisian masih di bawah Sigit Listyo yang merupakan orang dekat Jokowi. Kedua, karena kepolisian selama ini punya reputasi buruk dalam merekayasa kasus.
Katakanlah dilakukan uji forensik oleh pihak kedua, selain oleh Bareskrim, lalu ternyata ijazah Jokowi memang asli adanya, ini pun tidak akan memadamkan perlawanan.
Jokowi akan dilaporkan kembali karena telah membuat gaduh, karena baru mengeluarkan ijazahnya yang asli setelah bertahun-tahun kemudian.
Alhasil, Jokowi sekarang maju kena mundur kena. Yang jelas rakyat menginginkan Jokowi dihukum seberat-beratnya akibat kezalimannya selama 10 tahun.
Kejatuhan Jokowi begitu nyata. Partai-partai politik yang dulu menjadi sekutunya dan begundal-begundal yang selalu mendampinginya sedang melakukan perhitungan.
Sebagian besar mereka sedang menunggu di pinggir gawang untuk melakukan tendangan telak begitu Jokowi sedang sekarat politik.
Mereka-mereka yang dulu begitu intensif menjilat Jokowi adalah orang yang paling cepat pindah kubu begitu Jokowi terdesak dan menemui ajal politik.
Semiotika sosial kejatuhan Jokowi sangatlah tidak rumit untuk dibaca bahkan oleh orang awam sekalipun.
Zaman informasi yang mempercepat jalannya sejarah tidak berpihak kepadanya. Bahkan kebenaran sekalipun tak akan menolongnya.
Karena dia terlanjur menjadi musuh bersama rakyat akibat kezalimannya yang tak termaafkan. ***
Artikel Terkait
Roy Suryo dan dr. Tifa Diperiksa Polisi sebagai Tersangka Kasus Ijazah Jokowi
Modus Korupsi Proyek Kereta Cepat Whoosh: Mark Up Lahan hingga Jual Beli Tanah Negara
Bobibos Biofuel RON 98 dari Jonggol: Solusi BBM Murah Rp 4 Ribu Setara Pertamax Turbo
ESDM Ingatkan Aturan BBM ke Bobibos: Ekspansi SPBU Harus Penuhi Uji Kelayakan