Semiotika Sosial Kejatuhan Jokowi: Penjahat Kemanusiaan Penuh Kezaliman

- Selasa, 13 Mei 2025 | 10:05 WIB
Semiotika Sosial Kejatuhan Jokowi: Penjahat Kemanusiaan Penuh Kezaliman


Semiotika Sosial Kejatuhan Jokowi: 'Penjahat Kemanusiaan Penuh Kezaliman'


Oleh: Buni Yani


Publik, terutama mereka yang pernah menjadi pendukung Prabowo pada Pemilu 2019, tidak sabar dengan kelambanannya memproses hukum Jokowi penjahat kemanusiaan yang telah memerintah dengan penuh kezaliman selama 10 tahun. 


Sebulan, dua bulan, bahkan setelah 100 hari pun Jokowi masih pecicilan ke mana-mana yang membuat rakyat marah.


Lazimnya pemerintahan baru di banyak tempat di dunia, seratus hari dianggap sebagai angka yang cukup adil untuk menilai kinerja presiden terpilih. 


Namun pada bulan keempat pun Jokowi masih seperti presiden periode ketiga. 


Bulan kelima juga demikian. Banyak menteri kabinet Prabowo sowan ke Solo, menjadikan pemerintahan Prabowo mengalami gerhana gelap, dan publik yang berpikiran waras tidak bisa menerima kejadian ini.


Dugaan matahari kembar bukan lagi isapan jempol. Jokowi dipandang sedang mempersiapkan Gibran menjadi presiden untuk Pemilu 2029—tetapi lebih cepat dari itu lebih baik. 


Sementara itu di pihak lain, publik melihat Gibran adalah anak kecil yang belum cukup umur, tidak memiliki kemampuan sama sekali bahkan untuk hal-hal sederhana, dan naiknya pun menjadi pejabat publk diperoleh melalui proses penuh kecurangan karena menukangi konstitusi.


Kesabaran publik sudah habis begitu memasuki bulan keenam. Jokowi kelihatan semakin kuat mengkonsolidasikan kekuatannya, sementara di pihak lain Prabowo semakin lemah di bawah bayang-bayang gerhana yang diciptakan Jokowi. 


Namun Prabowo menjanjikan akan ada kejutan setelah enam bulan memerintah.


Publik terlanjur tidak percaya. Meniru ucapan Prabowo yang viral, banyak orang mengatakan, ah itu pasti omon-omon belaka. Publik sudah terlanjur kehilangan harapan. 


Bukankah Prabowo telah mengatakan Jokowi adalah guru politiknya dan berteriak “hidup Jokowi”? Bukankah Prabowo telah berjanji akan melanjutkan program-program gurunya itu?


Namun plot twist tak terduga membuat ternak Jokowi dan geng Solo shock berat. Belum genap enam bulan, gempa politik memang betul-betul terjadi. 


Janji Prabowo itu memang benar adanya. Tiba-tiba purnawirawan TNI mengajukan delapan tuntutan yang salah satunya adalah mendesak penggantian Gibran anak haram konstitusi. 


Para purnawirawan meniupkan terompet perlawanan untuk menyelamatkan republik yang sedang sekarat akibat ulah Jokowi.


Delapan tuntutan itu tertuang dalam sebuah dokumen yang ditandatangani oleh lima jenderal purnawirawan TNI yaitu Fachrul Razi, Tyasno Soedarto, Slamet Soebijanto, Hanafi Asnan, dan Try Sutrisno. Di antara kelima nama itu, yang menjadi bintang tentu saja adalah Try Sutrisno. 


Tidak saja karena senioritas Try di TNI, tetapi juga karena dia pernah menjadi wakil presiden. Tuntutan itu didukung oleh 103 jenderal purnawirawan, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel.


Para purnawirawan menyampaikan delapan tuntutan itu dalam sebuah acara pada 17 April 2025, atau tiga hari sebelum Presiden Prabowo merampungkan enam bulan pemerintahannya. 


Yang menarik, dokumen yang ditandatangani oleh para purnawirawan itu sudah dibuat pada bulan Februari 2025.


Pada saat terjadi serangan ke Gibran, bergulir pula dengan lancar dan menjadi perhatian nasional, kasus ijazah palsu Jokowi yang sudah bertahun-tahun jadi polemik dan hampir dilupakan. 


Munculnya ahli forensik digital Rismon Sianipar menyuntikkan darah baru pada penelisikan ijazah Jokowi yang punya banyak kejanggalan itu. 


Hasil penelitian Rismon melengkapi penelitian ahli digital Roy Suryo dan dokter Tifauzia Tyassuma, dan ini semakin meyakinkan publik bahwa ijazah UGM Jokowi memang bermasalah.


Rismon Sianipar dan Roy Suryo dengan sangat meyakinkan menunjukkan hasil penelitian mereka menggunakan aplikasi digital bahwa foto ijazah UGM Jokowi tidak identik dengan foto Jokowi sekarang ini. 


Kesimpulan mereka, ijazah UGM Jokowi yang beredar luas menggunakan foto diri orang lain.


Bahkan foto diri tersebut kelihatan seperti foto yang ditempelkan di atas stempel karena tidak ada warna merah tinta stempel di atasnya.


Ini temuan baru yang tentu saja sangat mengguncang dan membuat heboh politik nasional. Perlawanan buzzer dan ternak Jokowi tenggelam oleh besarnya magnitude dan skala perbincangan publik atas kasus ini. 


Mereka tidak bisa lagi melawan narasi yang sudah masuk ke dalam kesadaran publik bahwa Jokowi memang pembohong yang ijazahnya palsu. 


Perlawanan sia-sia ini menunjukkan semakin lemahnya Jokowi dan gerbong di belakangnya.


Dua gempuran dahsyat ini membuat Jokowi dan geng Solo mulai gemetaran dan kelihatan oleng. Dalam sebuah video menanggapi laporannya ke Polda Metro Jaya, suara Jokowi mulai kedengaran was-was dan khawatir. 


Meskipun dia berusaha tampil tenang dan berusaha memposisikan diri sebagai pihak yang terzalimi karena telah “dihina sehina-hinanya”, suaranya tak bisa berbohong. Dia kelihatan lelah dan risau.


Bagaimana kita bisa memaknai dua kejadian penting ini menggunakan semiotika sosial sebagai pisau analisis? Apakah ada keterlibatan Prabowo? 


Apakah dua kejadian itu merupakan perwujudan dari janji Prabowo bahwa akan ada kejutan setelah enam bulan menjabat? 


Inilah pertanyaan-pertanyaan yang beredar sekarang ini di banyak grup WA, obrolan santai, dan diskusi serius.


Bahwa Prabowo adalah orang Jawa dari garis bapak dan Minahasa dari garis ibu adalah fakta yang harus kita catat. 


Halaman:

Komentar