Dalam kerangka hukum, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik jelas menyatakan bahwa informasi tentang pejabat publik yang berkaitan dengan kepentingan jabatan dan syarat administratif adalah bagian dari informasi yang wajib diumumkan.
Ketertutupan terhadap ijazah presiden bukan hanya menciderai semangat undang-undang itu, tetapi juga membalik logika demokrasi: yang terbuka dibungkam, yang tertutup dilindungi.
Kini, bukan hanya tenaga, waktu, dan biaya yang habis. Tapi juga kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan keterbukaan.
Energi anak bangsa yang seharusnya dipakai untuk membangun negeri, dipaksa dialihkan untuk berdebat tentang sesuatu yang seharusnya sudah terang benderang sejak awal.
Yang diperjuangkan bukan penggulingan kekuasaan. Bukan pula hasrat untuk menjatuhkan nama baik. Yang diperjuangkan adalah hak publik untuk mengetahui kebenaran.
Karena dalam demokrasi, tak ada ruang bagi rahasia dalam urusan yang menyangkut kepentingan rakyat banyak.
Lantas, mengapa negara memilih bertahan dalam keheningan? Mengapa Presiden Jokowi seakan lebih memilih menyerang mereka yang bertanya, ketimbang menjawab dengan sederhana: memperlihatkan ijazah?
Ini bukan hanya soal ijazah. Ini soal pesan yang dikirim kepada seluruh warga negara: bahwa bertanya bisa membahayakan.
Bahwa menyuarakan kebenaran bisa mengantar ke penjara. Bahwa di negeri ini, kebenaran bisa menjadi tersangka.
“Kita seperti hidup dalam negara yang membalik norma,” kata Zainal Arifin Mochtar, ahli hukum dari UGM.
“Orang yang menanyakan keabsahan, yang seharusnya difasilitasi negara, justru dikriminalisasi. Ini bukan persoalan pribadi presiden, ini preseden buruk bagi sistem hukum dan demokrasi kita.”
Kita sedang berada di fase berbahaya dalam perjalanan republik.
Ketika transparansi ditutup rapat-rapat, dan rakyat diminta percaya begitu saja, tanpa hak bertanya.
Ketika kritik dianggap sebagai subversi. Ketika mempertanyakan dokumen publik dianggap sebagai tindakan kriminal.
Di bawah langit Indonesia yang konon merdeka ini, ternyata mencari kebenaran bisa jadi petualangan paling melelahkan.
Bahkan bisa lebih berat daripada memalsukan kebenaran itu sendiri.
Dan di situlah luka kita sebagai bangsa semakin menganga. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Polemik Pakubuwono XIV: Prosesi Dinilai Terlalu Dini, Muncul Penolakan Internal
Demo Buruh Kasbi di DPR: 10 Tuntutan Utama & Tuntut UU Pro Pekerja
Gubernur Riau Abdul Wahid Tersangka KPK: Fakta Satu Matahari dan Permintaan Jatah Preman Rp7 Miliar
Kebakaran Rumah Hakim PN Medan Khamozaro Waruwu, Diduga Terkait Kasus Korupsi yang Ditanganinya