Jokowi justru tampak sangat ambisius, bahkan kini menjadi kingmaker yang tak malu menunjukkan pengaruhnya di balik pencalonan anak, menantu, dan kroni-kroninya.
Ini bukan sekadar "manusia politik", ini sudah menjurus pada premanisme politik, yakni memaksakan kehendak melalui jalur kuasa yang membajak konstitusi.
Padahal dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa pemilu harus dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Bila rekayasa hukum dilakukan untuk meloloskan dinasti kekuasaan, maka prinsip keadilan telah dilanggar.
Putusan MK yang meloloskan Gibran adalah cermin betapa hukum bisa dibengkokkan demi ambisi kekuasaan.
Ambisi Jokowi yang ingin tetap bermain di politik pasca-presiden mencoreng semangat reformasi. Ini pula yang memancing analisa bahwa Jokowi tengah dihantui rasa takut.
Ia takut kehilangan pengaruh, takut masa lalunya dibongkar, atau takut dinasti yang dibangunnya tumbang akibat arus demokrasi rakyat yang mulai bangkit, khususnya posisi anak sulungnya Wapres.
Ini bukan soal menolak generasi muda masuk ke dalam kekuasaan. Peran generasi muda sangat penting dan perlu dilibatkan dalam mengatur negara, asalkan melalui proses yang berjenjang, prestasi, bukan karena aji mumpung, memanfaatkan jabatan kekuasaan.
Jika memang Jokowi negarawan sejati, semestinya ia mengambil teladan dari Presiden Abraham Lincoln, pemimpin besar Amerika Serikat yang memegang teguh prinsip demokrasi.
Lincoln pertama kali terpilih sebagai Presiden AS pada 6 November 1860 dan resmi menjabat pada 4 Maret 1861.
Ia kemudian mencalonkan diri kembali dan menang untuk masa jabatan kedua pada 8 November 1864, di tengah kobaran Perang Saudara (Civil War).
Namun yang perlu dicatat, Lincoln tidak pernah berniat mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga, meskipun saat itu tidak ada pembatasan masa jabatan presiden di konstitusi AS (pembatasan baru ditetapkan melalui Amandemen ke-22 pada 1947, pasca era Roosevelt).
Dalam berbagai pernyataan pribadinya, Lincoln menyampaikan bahwa kekuasaan harus dijalankan sementara, demi menyelamatkan negara, bukan diwariskan atau dilanggengkan.
Lincoln justru lebih fokus pada rekonsiliasi dan pemulihan bangsa yang terpecah, bukan memperpanjang kekuasaan atau membangun dinasti politik.
Tragisnya, ia ditembak dan tewas pada 15 April 1865, hanya beberapa minggu setelah dilantik untuk periode keduanya.
Namun warisannya sebagai pelindung demokrasi dan penentang penyalahgunaan kekuasaan tetap abadi dalam sejarah dunia.
Pesan Lincoln, kekuasaan adalah amanat rakyat, bukan warisan keluarga. Dalam konteks ini, seharusnya Jokowi lebih memilih menjadi bapak demokrasi setelah lengser, bukan justru mengunci sistem agar keluarganya tetap di puncak kekuasaan.
Jokowi semestinya ingat, sejarah akan lebih lama mengingat pemimpin yang tahu kapan harus berhenti daripada mereka yang rakus kekuasaan. Sayangnya, apa yang kita saksikan hari ini justru menunjukkan sebaliknya.
Namun saya percaya, kesadaran rakyat tak akan selamanya bisa dibungkam. Perlahan tapi pasti, publik akan menyadari bahwa beban hidup yang semakin berat hari ini adalah warisan pemerintahan Jokowi.
Dari inflasi pangan, kelangkaan pupuk, mahalnya biaya kesehatan, hingga ketidakpastian lapangan kerja yang terus menghantui.
Rakyat akan bangkit. Dan ketika itu terjadi, sejarah akan mencatat siapa yang berdiri di sisi keadilan dan siapa yang hanya menjadi bayangan kekuasaan yang menyalahgunakan mandat rakyat. ***
Artikel Terkait
Ulama Minta Menag Pecat Ainul Yakin, Diduga Ancam Gorok Leher Orang
Mahfud MD: Soeharto Layak Jadi Pahlawan Nasional, Tapi Ini Syarat yang Masih Diperdebatkan
50 Tahun, Korban Tewas Tertimpa Pohon Tumbang di Tengah Hujan Deras
36 Pendaki Ilegal Dihukum Berat: Ini Konsekuensi yang Mereka Terima!