Kemudian di tingkat DPRD Provinsi sebesar Rp1.200/ suara sah dan Rp1.500/ suara sah untuk tingkat DPRD kabupaten atau kota.
Haykal menilai dengan adanya bantuan dana besar dari APBN, maka parpol dituntut untuk lebih transparan dan akuntabel dalam melaporkan keuangannya.
Sebab selama ini parpol cenderung hanya sebatas melaporkan keuangan yang bersumber dari APBN yang nilainya kecil.
Sementara sumber utama pendanaan parpol yang berasal dari iuran anggota hingga sumbangan pihak eksternal seperti pengusaha yang acap kali melahirkan praktik koruptif balas budi tidak terpantau.
“Jadi harapannya melalui peningkatan pemberian bantuan dana negara kepada parpol, nantinya parpol dalam tanda kutip bisa lebih dipaksa untuk akuntabel dan transparan,” jelas Haykal.
Di sisi lain, Haykal menilai sistem bantuan APBN yang berlaku saat ini juga cenderung lebih menguntungkan parpol-parpol besar.
Sebab besaran bantuan yang dikeluarkan itu merujuk pada jumlah perolehan suara.
Ke depan, kata Haykal, Perludem menyarankan bantuan dana dari APBN itu dibagi dalam dua model.
Selain berdasar jumlah perolehan suara sah, juga harus ada bantuan dana tetap dengan nominal yang sama.
Tak hanya itu, Haykal menilai perlu adanya aturan yang membatasi jumlah sumbangan dana dari pihak eksternal kepada parpol.
Aturan ini menurutnya penting, sebagai upaya mencegah terjadinya praktik koruptif balas budi.
“Misalnya sumbangan itu tidak boleh melebihi dari bantuan yang didapatkan dari negara. Ini penting untuk memastikan bahwa ruang gelap pemberian dana politik dari pihak swasta ini tidak lagi terjadi,” tuturnya.
Komitmen Parpol dan Penegak Hukum
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Yassar Aulia berpendapat serupa.
Dalam titik tertentu ia menilai usulan untuk menambah bantuan dana dari APBN kepada parpol memang bisa menekan terjadinya praktik koruptif balas budi di tengah mahalnya ongkos politik.
Namun hal itu baru bisa terwujud jika parpol memiliki komitmen yang kuat dalam melaporkan keuangannya.
“Kalau misalkan itu tidak dilakukan ya tetap patut curiga kemungkinan besar siklus korupsi politik akan berlanjut. Karena salah satu perasyarat untuk mencegah korupsi itu soal transparansi,” jelas Yassar.
Yassar menyebut selama ini parpol memang cenderung tidak terbuka soal sumber dana yang mereka peroleh.
Bahkan berdasar hasil wawancara yang dilakukan ICW, beberapa parpol memilih menolak menerima bantuan dana APBN karena nominalnya yang kecil dan harus diaudit.
“Jadi ketika pelaporan rumit tapi secara nominal tidak cukup menutupi kebutuhan tahunan mereka. Itu sangat banyak partai yang justru memilih untuk tidak mengambil bantuan politik tersebut,” bebernya.
Oleh karena itu, lanjut Yassar, jika pemerintah ingin meningkatkan bantuan kepada parpol, perlu ada pengawasan maksimal.
Selain perlu komitmen dari penegak hukum untuk menindak apabila terjadi penyelewengan.
“Aparat penegak hukum harus lebih sigap untuk menindak dugaan-dugaan apapun yang mungkin berujung pada korupsi atau penyelewengan anggaran,” bebernya.
Peneliti Perludem, Haykal berpendapat serupa. Menurutnya partai politik bisa saja dijatuhi hukuman berupa pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi atau MK jika nantinya terbukti terlibat dalam perkara korupsi.
“Pembubaran partai politik sidangnya ada di MK, walaupun itu belum pernah digunakan kewenangannya. Tetapi ini bisa menjadi salah satu jalan keluar ketika ada partai politik melakukan tindakan perbuatan melawan hukum atau melakukan korupsi dan sebagainya,” pungkas Haykal.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Jokowi Dianggap Abai Nasihat Jonan Soal Utang Kereta Cepat Whoosh, Ini Dampaknya!
Purbaya Buka Suara Soal Polemik Larangan Otak-atik Dana MBG dari Zulhas
Viral! Profil Dhenida Chairunnisa, Ketua Komisi III DPRD Gorut yang Diduga Ejek Orator Demo
Keluarga Ponpes Lirboyo Terima Surat Permohonan Maaf Resmi dari Trans7