Negara—melalui aparatnya—berulang kali gagal merespons keraguan masyarakat dengan cara yang wajar dan terbuka.
Alih-alih membuka dokumen ke publik, aparat justru terkesan menutupi, menuding balik, bahkan memperkarakan mereka yang mempertanyakan.
Ketika logika kekuasaan menutupi logika kebenaran, setiap pembelaan pun tampak seperti drama, bukan klarifikasi.
Bareskrim boleh saja berkata ijazah itu identik dan otentik. Tapi publik juga punya hak untuk menilai apakah proses verifikasi itu jujur dan tak berpihak.
Apakah saksi-saksi dihadirkan dari semua pihak, bukan hanya yang mendukung versi resmi?
Apakah pengujian dilakukan oleh lembaga independen, bukan oleh institusi yang berada di bawah kendali kekuasaan?
Dalam republik yang sehat, ijazah presiden mestinya bukan menjadi isu.
Tapi di negeri ini, ketika akuntabilitas menjadi barang langka, selembar ijazah pun bisa menjadi simbol dari seluruh problem tata kelola negara: ketertutupan, manipulasi informasi, dan penggunaan aparatur hukum untuk melayani kepentingan elite.
Maka, yang dipersoalkan bukan semata otentisitas kertas, melainkan otentisitas moral kekuasaan itu sendiri.
Apakah negara hadir untuk menjawab keraguan rakyat, atau justru menjadi tembok tebal yang melindungi para penguasa dari kritik dan pertanggungjawaban?
Dalam dunia yang terus bergerak menuju keterbukaan, cara-cara lama mempertahankan rahasia hanya akan mempercepat kejatuhan wibawa.
Sebab kebenaran, sebagaimana sejarah, tak bisa dibungkam hanya dengan cap resmi yang berbunyi: “Identik dan Otentik”. ***
Artikel Terkait
Whoosh Bukan Investasi Sosial? Ekonom Beberkan Potensi Beban Berat bagi KAI
Dino Patti Djalal Bongkar Risiko Gerakan Gibran 2 Periode: Picu Konflik hingga Renggangkan Koalisi
Purbaya Yudhi Sadewa Puncaki Survei Cawapres 2029, Ternyata Ini Sikap Mengejutkannya!
BNPB Tambah Armada Modifikasi Cuaca untuk Atasi Banjir Semarang, Begini Strateginya