Ia menyebut tidak ada program KKN di Wonosegoro pada tahun tersebut.
UGM dan Bareskrim buru-buru mengonfirmasi bahwa Jokowi memang KKN di sana, dilengkapi “bukti foto dan dokumen akademik.”
Namun bukti itu tak pernah benar-benar ditunjukkan ke publik secara transparan, apalagi diuji secara akademis.
Di sinilah letak ganjilnya. Ketika tuduhan pemalsuan ijazah mencuat, dan publik menuntut pembuktian, mengapa bukan suara Jokowi sendiri yang menjawab?
Mengapa ia diam terhadap tuduhan yang mengguncang fondasi identitas akademiknya?
Tidak perlu debat panjang di pengadilan: cukup dengan cerita personal tentang KKN, atau satu dua saksi dari masa itu, maka riwayat itu bisa dikembalikan ke tempatnya.
Namun, diamnya Jokowi menambah keraguan. Karena mereka yang sungguh-sungguh menempuh proses akademik, biasanya tidak kesulitan mengenang perjalanan mereka—terlebih KKN yang, bagi sebagian besar mahasiswa, adalah pengalaman berharga: tidur di balai desa, mendampingi masyarakat, mencatat kondisi sosial-ekonomi warga, dan membuat laporan akhir yang dinilai kampus.
Jokowi tidak pernah membagikan pengalaman semacam itu. Tidak juga melalui media arus utama, tidak di buku-buku biografinya yang ditulis dengan nada heroik.
Dalam dunia yang menghargai kejelasan rekam jejak, pengakuan personal bukanlah hal sepele.
Ia bukan sekadar nostalgia, tapi bagian dari pembuktian integritas. Apalagi jika seseorang dituduh memalsukan riwayat pendidikannya.
KKN Jokowi tahun 1983, sejauh ini, tetap menjadi teka-teki kecil di tengah gugatan besar.
Dan selama suara tentang masa itu tak keluar dari mulutnya sendiri, publik tetap berhak bertanya: apakah jejak itu memang pernah ada? ***
Artikel Terkait
Benteng Perlindungan Koruptor di Bea Cukai Dibongkar Purbaya: Fakta Korupsi POME Terungkap
MKD DPR Tolak Pengunduran Diri Rahayu Saraswati, Pengamat: Alasan Minim Kontroversi Tidak Relevan
Misteri Kematian Jaksa Agung Baharuddin Lopa: Gagal Berantas Korupsi dalam 1 Bulan?
Gempa Magnitudo 4.9 Guncang Meulaboh Aceh, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami