Dua Budi di Kabinet Merah Putih: 'Siapa Yang Akan Terjungkal?
Oleh: Rokhmat Widodo
Pengamat Politik
Kehadiran dua tokoh bernama “Budi” di dalam kabinet—Budi Arie Setiadi dan Budi Gunawan—tiba-tiba menjadi titik panas dalam narasi politik nasional pasca mencuatnya kasus judi online (judol) yang menyeret sejumlah nama penting.
Drama ini bukan sekadar polemik nama dalam dakwaan, tetapi juga menjadi titik refleksi atas pertarungan kuasa, loyalitas politik, serta pergeseran peta kekuasaan menjelang konsolidasi pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Nama Budi Arie muncul dalam surat dakwaan kasus judi online yang disusun Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dalam dokumen tersebut, terdapat dugaan aliran dana judol yang melibatkan pegawai Kominfo pada masa Budi Arie menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar menyatakan bahwa dakwaan didasarkan pada hasil penyidikan dan bukan pada asumsi.
Namun, dalam realitas politik Indonesia, kerap kali fakta hukum ditafsirkan dalam bingkai politik.
Dakwaan hukum menjadi komoditas politik ketika pelibatan nama tertentu bisa berdampak pada karier politik maupun jabatan publik.
Dalam kasus ini, isu menjadi kompleks ketika Budi Arie menuding balik keterlibatan tokoh kuat lain, yakni Kepala BIN Budi Gunawan dan bahkan PDIP, partai besar penguasa yang masih punya pengaruh kuat hingga saat ini.
Pertanyaan besarnya: benarkah dakwaan ini semata-mata proses hukum yang netral?
Ataukah ini adalah bagian dari tarikan politik menjelang pembentukan kabinet Prabowo-Gibran, di mana para pemain utama sedang diposisikan ulang?
Budi Arie bukan kader partai politik besar. Ia adalah Ketua Umum Projo (Pro Jokowi), organisasi relawan yang memiliki kekuatan simbolik selama dua periode kekuasaan Presiden Joko Widodo.
Naiknya Budi Arie ke posisi Menteri Koperasi dan UKM di sisa masa pemerintahan Jokowi adalah bentuk apresiasi terhadap loyalitas, bukan representasi kekuatan partai.
Namun di masa transisi ini, loyalitas terhadap Jokowi saja tampaknya tidak cukup untuk bertahan.
Saat Jokowi mulai merapat ke kubu Prabowo—dan bahkan disebut-sebut tengah menjaga dinasti politiknya lewat Gibran sebagai wapres terpilih—mereka yang “terlalu Jokowi” tetapi tidak menjadi bagian dari kesepakatan elite yang baru bisa saja tersingkir.
Dakwaan atas nama Budi Arie bisa jadi menjadi pintu masuk untuk menyingkirkannya secara politik, dengan tetap menjaga narasi “penegakan hukum.”
Pencopotan Budi Arie dan munculnya nama Budisatrio Djiwandono—keponakan Prabowo, politisi muda dari Partai Gerindra—disebut-sebut sebagai bagian dari kalkulasi kekuasaan menjelang penyusunan kabinet baru.
Budisatrio dikenal sebagai figur yang dekat dengan lingkaran inti Prabowo dan mewakili generasi politik baru yang lebih bisa dikendalikan secara loyalitas.
Di sisi lain, nama Budi Gunawan—Kepala BIN dan tokoh kunci di PDIP—turut diseret dalam tudingan Budi Arie soal keterlibatan dalam judi online.
Ini menciptakan eskalasi. Sebab menyentuh Budi Gunawan berarti menyinggung dua lapis kekuatan sekaligus: lembaga intelijen dan partai pemenang pemilu 2024.
Budi Gunawan dikenal sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di tubuh PDIP.
Ia adalah “kepala bayangan” dalam banyak pengambilan keputusan strategis, bahkan disebut sebagai perancang strategi pemenangan dalam Pilpres-Pileg sebelumnya.
PDIP sendiri tengah dalam posisi sensitif setelah mengalami kekalahan di Pilpres 2024 dan sedang bersiap untuk bertarung dalam Pilkada serentak akhir tahun ini.
Pernyataan Budi Arie yang menyeret nama PDIP bisa dianggap sebagai serangan frontal terhadap kelompok yang sedang terluka tetapi masih kuat.
Tidak heran jika manuver ini bisa berbalik menjadi bumerang. Dalam politik, menyerang kelompok besar tanpa perlindungan politik yang cukup ibarat bunuh diri.
Kita menyaksikan bukan hanya drama hukum, tetapi juga pembersihan halus dalam barisan elite.
Di satu sisi, para loyalis Jokowi yang tidak kompatibel dengan kekuasaan baru satu per satu mulai “dilepaskan.” Budi Arie tampaknya menjadi korban pertama dari gelombang ini.
Di sisi lain, Prabowo membutuhkan “kabinet bersih” yang bisa dikontrol penuh, tidak menyisakan jebakan dari kekuasaan sebelumnya, apalagi dari kelompok yang memiliki loyalitas ganda.
Masuknya Budisatrio bisa dibaca sebagai bagian dari langkah mematri kekuasaan keluarga Prabowo di birokrasi ekonomi.
PDIP, meskipun kehilangan posisi eksekutif, masih ingin mempertahankan pengaruh melalui aparat strategis seperti BIN dan Kejaksaan.
Namun skandal judol ini bisa menjadi alat dari kekuatan baru untuk melemahkan posisi tawar PDIP di masa transisi kekuasaan.
Jika demikian, pertarungan ini bukan hanya antara dua Budi, tapi antara dua poros kekuasaan: poros Jokowi dan poros Megawati-PDIP, dengan poros Prabowo-Gibran mulai mengambil alih kendali arena.
Mungkin keduanya. Tapi dengan skenario politik yang tengah berlangsung, Budi Arie hampir pasti menjadi yang pertama terjungkal.
Ia terlalu dekat dengan Jokowi, terlalu jauh dari partai, dan kini sudah tak punya benteng perlindungan ketika relasi kekuasaan berubah.
Sementara Budi Gunawan, dengan jaring-jaring PDIP dan kekuatan intelijen, masih bisa bertahan—setidaknya untuk sementara waktu—selama serangan tidak sampai pada titik bukti hukum.
Namun, semua masih dinamis. Bila rezim baru ingin tampil bersih dan “menyapu tuntas” warisan lama, tidak tertutup kemungkinan bahwa nama-nama besar lain, termasuk dari PDIP atau bahkan dari internal Gerindra sendiri, bisa turut terseret.
Pertarungan belum usai. Dan di balik nama-nama dalam dakwaan, kita sedang menyaksikan desain besar politik pasca-Jokowi yang akan menentukan wajah kekuasaan Indonesia lima tahun ke depan. ***
Artikel Terkait
JK Singgung soal Ijazah: Simpan Aslinya, Nanti Jadi Gubernur Ditanya Tidak Ada, Memalukan!
Pemda Dapat Lampu Hijau Rapat di Hotel dan Anggaran Fantastis Hotel-Makan Menteri, Efisiensi Cuma Omon-omon?
RI Berencana Beli Jet Tempur China, Wamenhan: Apalagi Harganya Murah, Kenapa tidak
Wali Kota Solo Nyatakan Ayam Goreng Widuran Layak Makan dan Izinkan Buka Kembali