Kasihan! Sepertinya Jokowi Sudah Tak Punya Teman

- Jumat, 06 Juni 2025 | 14:15 WIB
Kasihan! Sepertinya Jokowi Sudah Tak Punya Teman


Kasihan! Sepertinya Jokowi Sudah Tak Punya Teman


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Di Solo yang hangat, Jumat itu,  Joko Widodo tampak sendirian. 


Bukan karena ia tidak dikerumuni awak media, tapi karena suara yang ia lontarkan seperti datang dari ruang kosong—dari seseorang yang tak lagi memiliki siapa-siapa untuk berdiskusi secara jujur, atau setidaknya, untuk membelanya secara terbuka. 


Ia menjelaskan sendiri ihwal isu pemakzulan Gibran Rakabuming Raka, anaknya sendiri, dengan nada yang nyaris seperti orang yang sedang mengajar pendidikan kewarganegaraan di kelas SMP.


“Pemakzulan itu hanya bisa jika presiden atau wakil presiden melakukan perbuatan tercela, pelanggaran berat, atau tindak pidana seperti korupsi,” ujar Jokowi, mencoba tetap tenang. 


Penjelasan normatif, ringan, sederhana—tapi menyimpan tanda tanya besar: Mengapa ia merasa perlu menjawab sendiri?


Sementara itu, suara dari luar Istana justru datang dari tempat yang tak terduga. 


Forum Purnawirawan Prajurit TNI—lembaga yang biasanya lebih dikenal karena kedekatannya dengan ide ketertiban dan loyalitas kepada negara—menjadi penggagas paling keras agar Gibran dimakzulkan. 


Empat jenderal senior, dengan penuh keberanian, menandatangani surat kepada pimpinan DPR, MPR, dan DPD. 


Nama-nama itu bukan sekadar nama: Fachrul Razi, Tyasno Soedarto, Hanafie Asnan, Slamet Soebijanto—mereka bukan pengamat biasa.


Kata mereka, dasar hukum pencalonan Gibran adalah putusan Mahkamah Konstitusi yang cacat secara etika dan moral. 


Anwar Usman, sang paman yang saat itu menjabat Ketua MK, dianggap menyalahgunakan wewenang, tak mengundurkan diri dari perkara yang jelas-jelas melibatkan keponakannya. 


Sebuah preseden yang membuat rasa keadilan publik seperti diinjak-injak oleh stempel kekuasaan.


Yang ironis, dalam suasana pelik ini, Jokowi terlihat seperti kehilangan barisan. 


Elite partai bungkam, para menteri tiarap, dan masyarakat sipil hanya bisa menggertakkan gigi sambil menatap layar. 


Bahkan, para pensiunan jenderal yang dulu menjadi pilar kekuatan politik Jokowi di periode pertama kini memilih barikade seberang. 


Dan di tengah kekosongan suara itulah Jokowi muncul: menjelaskan sendiri, membela sendiri, seolah-olah ia presiden dan penasihat hukumnya sendiri.


Mungkin Jokowi masih ingin kita percaya bahwa semuanya baik-baik saja.


Bahwa ini hanya “dinamika demokrasi”, kata yang sudah terlalu sering dipakai untuk membungkus konflik serius agar terlihat sebagai perbedaan biasa. Tapi publik tak bodoh. 


Kita tahu, pemakzulan bukan sekadar soal hukum, tapi juga tentang legitimasi moral. Dan dari situlah keretakan mulai nyata.


Isu ini bukan semata-mata tentang Gibran. Ini tentang rekayasa sistemik yang menjungkirbalikkan hukum demi memuluskan jalan kekuasaan dinasti. 


Ini tentang keengganan elite untuk menolak saat kebenaran menjadi taruhan. 


Dan ini juga tentang seorang ayah yang perlahan kehilangan kawan di medan yang ia ciptakan sendiri.


Jokowi mungkin tidak merasa sendiri. Tapi dari luar, dari sudut rakyat biasa yang menyaksikan dari pinggir, semuanya terlihat seperti drama sunyi. 


Ketika seorang presiden harus menjelaskan sendiri bahwa anaknya tak layak dimakzulkan, itu bukan sekadar klarifikasi. 


Itu tanda bahwa ia telah ditinggalkan, perlahan, oleh mereka yang dulu bersumpah setia.


Dan seperti yang kita tahu dalam politik: ketika seorang pemimpin mulai bicara sendirian, bukan karena ia bijak, tapi karena tak ada lagi yang bersedia bicara untuknya. ***


 Sumber: FusilatNews

Komentar