Mengapa Cak Nun Menjuluki Jokowi Firaun?

- Selasa, 10 Juni 2025 | 15:00 WIB
Mengapa Cak Nun Menjuluki Jokowi Firaun?


'Mengapa Cak Nun Menjuluki Jokowi Firaun?'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Di tengah gegap gempita pujian media dan para pendukung, satu suara tetap jernih dan teguh seperti mercusuar di tengah badai: Emha Ainun Nadjib, atau Cak Nun. 


Sejak Joko Widodo masih menjabat Wali Kota Solo pada 2010, Cak Nun sudah mencium aroma bahaya. 


Bukan pada pribadi Jokowi, melainkan pada sistem yang menopangnya—oligarki, media, dan elit politik yang bekerja di balik layar.


Dari Solo Menuju Panggung Nasional

Tahun 2012, Jokowi melenggang ke Jakarta sebagai Gubernur. Blusukan dan gaya sederhananya menjadi magnet media dan publik. Ia dijuluki “pemimpin rakyat”. 


Namun Cak Nun mengingatkan, “Jangan terpesona pada baju kota atau gaya bicara. Lihat siapa yang mengatur di belakangnya.” 


Baginya, Jakarta bukan panggung citra, melainkan ujian kepemimpinan. Ia curiga, Jokowi sedang disiapkan untuk panggung yang lebih besar.


Kecurigaan itu terbukti. Pada 2013-2014, mesin politik bergerak: media, konsultan asing, dan pengusaha besar bersatu mengangkat Jokowi sebagai capres. Citra dipoles, harapan dikonstruksi. 


“Kita bukan memilih pemimpin,” kata Cak Nun. 


“Kita dikendalikan kekuatan tak kasatmata.” 


Ia tak menyebut Jokowi jahat, tapi sadar, pemimpin yang lahir dari sistem rusak tak bisa membawa kebaikan sejati.


Janji yang Lenyap


Saat Jokowi resmi menjadi Presiden pada 2014, janji-janji manis diumbar: tak tambah utang, tak bagi-bagi jabatan, hidup sederhana. 


Namun seperti telah diprediksi Cak Nun, satu per satu janji itu menguap. 


Utang negara membengkak, jabatan dibagikan ke kroni, dan keluarga Jokowi yang dulu sederhana kini tampil glamor. 


“Pemimpin yang dibentuk kamera tak akan membawa keadilan,” tegasnya.


Pembangunan infrastruktur jadi kebanggaan rezim, tapi Cak Nun bertanya: “Apa guna jalan tol kalau petani tetap miskin? Apa gunanya bandara megah kalau rakyat tak mampu beli tiket?” 


Pembangunan tanpa keadilan, baginya, hanyalah fatamorgana. 


Ekonomi justru memperkaya segelintir konglomerat, sementara harga sembako melonjak dan pengangguran meningkat. 


“Ini bukan demokrasi,” ujarnya.


“ini penjajahan oleh anak bangsa sendiri.”


Kekuasaan dan Erosi Kebebasan


Cak Nun juga memperingatkan soal bahaya kekuasaan yang tak terkendali. 


Halaman:

Komentar