'Masuk Akal Bila KPK Menyidik Jokowi dan Keluarganya'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Kini tak ada lagi alasan legal bagi KPK untuk terus diam. Jokowi telah lengser, dan aroma korupsi di sekeliling keluarganya semakin menyengat.
Setelah tidak lagi menjabat Presiden, Joko Widodo kembali menjadi warga negara biasa. Tapi jejak kekuasaan yang ditinggalkannya jauh dari kata biasa.
Ia meninggalkan warisan yang bukan cuma infrastruktur, melainkan juga satu konstruksi politik yang mencemaskan: dinasti.
Dan seperti sejarah negeri ini telah mengajari, dinasti selalu membuka jalan bagi korupsi.
Logika publik kini tak bisa diredam lagi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mulai membuka penyelidikan serius terhadap dugaan korupsi yang menyelimuti keluarga Jokowi. Apalagi, laporan sudah ada.
Pada 2022, akademisi Ubedillah Badrun melaporkan Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep ke KPK.
Ia menuduh keduanya menerima suntikan dana dari grup bisnis yang mendapat fasilitas dan proyek negara—dugaan klasik soal konflik kepentingan yang merusak kepercayaan publik.
Dulu, ketika Jokowi masih menjabat, laporan itu bagai suara di padang pasir.
Kini, keadaan telah berubah. Jokowi bukan presiden lagi. Maka tak ada lagi tameng hukum. Hanya keberanian KPK yang kini jadi soal.
Pernyataan Abdullah Hehamahua, mantan penasihat KPK, terasa makin relevan.
Ia menyebut bila korupsi Jokowi terbukti, maka hukuman mati bukanlah sesuatu yang berlebihan.
Pandangan itu memang ekstrem, namun muncul dari keprihatinan mendalam terhadap pembusukan hukum yang selama ini ditoleransi karena kekuasaan.
Artikel Terkait
Roy Suryo Bandingkan Perjuangan Kasus Ijazah Jokowi dengan Pangeran Diponegoro
Kisah Sembuh dari Gagal Ginjal Stadium 5: Transplantasi di RSCM Berhasil
Modus Korupsi Proyek Fisik: Mengungkap 4 Tahap Sistematis & Dampaknya
Roy Suryo dan dr. Tifa Diperiksa Polisi sebagai Tersangka Kasus Ijazah Jokowi