Memoar Gagal Keluarga Jokowi

- Rabu, 18 Juni 2025 | 13:50 WIB
Memoar Gagal Keluarga Jokowi


'Memoar Gagal Keluarga Jokowi'


Oleh: Ali Syarief

Akademisi


Kalau kita boleh bercanda sedikit, ada baiknya kita pinjam istilah dari dunia wayang: keluarga Pandawa yang lurus tapi malang, dan Kurawa yang pongah dan haus kuasa. 


Tapi di republik ini, panggungnya tidak sejelas lakon pewayangan. Yang putih bisa berubah abu-abu, yang hitam malah dikata bersih. 


Dan dalam cerita ini, izinkan saya menceritakan sebuah keluarga: keluarga Jokowi. 


Jangan marah dulu, karena ini bukan dongeng, bukan pula fitnah. Ini hanya catatan seorang rakyat kecil yang doyan menggerutu sambil ngopi.


1. Jokowi: Dari ‘Bersih dan Merakyat’ Menjadi Simbol Nepotisme dan Otoritarianisme Lembut


Mari kita mulai dari si bapak. Presiden dua periode ini dulunya dielu-elukan sebagai “harapan baru”, “tukang kayu dari Solo” yang tak pernah haus kuasa. 


Tapi apa lacur? Tahun-tahun terakhirnya justru menunjukkan wajah lain: wajah yang lebih mirip Soeharto versi 2.0, tapi dengan senyum ala warung soto. 


Di balik janji pembangunan dan IKN yang kabarnya “lebih hijau dari surga”, Jokowi gagal memberantas korupsi (lihat saja KPK yang dicopot taringnya seperti kucing rumahan), gagal menjaga netralitas lembaga, dan sukses menjadikan Indonesia sebagai panggung sandiwara politik dinasti.


Jokowi adalah bapak dari nepotisme gaya baru. Jika dulu nepotisme dilakukan diam-diam, Jokowi melakukannya terang-terangan, bahkan seolah mengajak rakyat ikut bangga. 


Ia mengklaim tak cawe-cawe, tapi hasilnya: semua anak dan menantunya kini berkeliaran di panggung politik bak boyband baru debut.


2. Gibran Rakabuming Raka: Wapres Kilat, Anak Sulung yang “Melesat Tanpa Tes”


Gibran, sang putra mahkota. Dari jualan martabak, lalu melompat ke kursi Wali Kota Solo (menggunakan partai lawan ayahnya), hingga kini menduduki kursi Wakil Presiden termuda, mungkin juga yang paling tidak melalui jalan berliku. 


UU diganti, MK dijadikan dapur keluarga, dan rakyat hanya bisa geleng-geleng sambil nyruput kopi pahit.


Bakat Gibran mungkin masih samar-samar, tapi keberuntungannya luar biasa terang. 


Ia adalah contoh nyata bagaimana meritokrasi dikubur dalam-dalam demi memberi ruang bagi darah daging sendiri. 


Mungkin dia belum gagal secara administratif—karena belum sempat kerja betulan—tapi secara moral dan etik, Gibran adalah kegagalan monumental. 


Ia menandai betapa institusi-institusi negara bisa dibengkokkan hanya untuk mengantar satu anak ke kursi kekuasaan.


3. Kaesang Pangarep: Dari Pisang Nugget ke Pimpinan Partai


Kaesang, si bungsu yang dulu lebih dikenal karena pisang nugget-nya, kini menjelma menjadi Ketua Umum PSI dalam waktu yang lebih cepat dari durasi masak mi instan. 

Halaman:

Komentar