Wacana penulisan ulang sejarah nasional yang digulirkan Kementerian
Kebudayaan di bawah pimpinan Fadli Zon telah memicu polemik panas.
Di tengah perdebatan ini, suara mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Anies Baswedan, menggema.
Anies mengingatkan bahwa luka sejarah, sepahit apa pun, adalah pelajaran
yang tidak boleh dihapus atau ditutupi.
Pesan ini menjadi relevan, terutama bagi generasi milenial dan Gen Z, yang
mewarisi tanggung jawab untuk memahami dan merawat ingatan kolektif bangsa.
Polemik ini bermula dari rencana Kementerian Kebudayaan untuk menyusun
kembali buku sejarah nasional.
Namun, isu ini memanas setelah pernyataan Menteri Fadli Zon yang
mempertanyakan bukti konklusif terkait istilah 'pemerkosaan massal' dalam
Tragedi Mei 1998 dan menyebutnya sebagai "rumor".
Sontak, pernyataan ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, mulai
dari aktivis hak asasi manusia, Komnas Perempuan, hingga politisi lainnya.
Menanggapi hal tersebut, Anies Baswedan menyampaikan pesan yang menyejukkan
sekaligus tegas.
Melalui keterangan resminya di media sosial X, Anies menekankan bahwa
kebesaran sebuah bangsa diukur dari kemampuannya menghadapi seluruh lembaran
sejarahnya, baik yang gemilang maupun yang kelam.
“Kita adalah bangsa yang besar, dan bukankah bangsa yang besar adalah bangsa
yang tidak melupakan sejarahnya, termasuk sisi-sisi kelam yang pernah
terjadi?” ujar Anies, Jumat (20/6/2025).
Dia lalu melanjutkan, "Sejarah akan menjadi cacat dan kehilangan makna bila
hanya berisi deretan kisah kemenangan, tanpa menunjukkan luka dan pelajaran
yang harus diingat bersama."
Jangan Cederai Sejarah
Bagi Anies, sejarah yang hanya berisi narasi kemenangan dan keberhasilan
akan menjadi cacat dan kehilangan maknanya.
Ia berpendapat bahwa mengakui seluruh kebenaran sejarah, mulai dari capaian
pembangunan di era Orde Baru hingga tragedi kemanusiaan seperti kekerasan
seksual pada Mei 1998, adalah fondasi esensial untuk membangun keadilan dan
persatuan yang sejati.
“Sebaliknya, menyangkal atau menghapus sebagian perjalanan bangsa justru
akan menjauhkan kita dari cita-cita keadilan sosial dan melemahkan
persatuan,” tegas Anies.
Pesan ini secara implisit ditujukan kepada Fadli Zon, yang berdalih bahwa
penulisan sejarah harus didasarkan pada fakta terverifikasi dan
kehati-hatian dalam menggunakan istilah sensitif.
Kita adalah bangsa yang besar, dan bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya, termasuk sisi-sisi kelam yang pernah terjadi? Sejarah akan menjadi cacat dan kehilangan makna bila hanya berisi deretan kisah kemenangan, tanpa menunjukkan luka dan…
— Anies Rasyid Baswedan (@aniesbaswedan) June 19, 2025
Fadli menyatakan bahwa laporah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tidak
memuat data lengkap mengenai korban dan pelaku dari apa yang disebut
"perkosaan massal".
Namun, argumen ini dimentahkan oleh berbagai pihak.
Komnas Perempuan mengingatkan bahwa TGPF telah melaporkan adanya puluhan
korban kekerasan seksual/
Presiden BJ Habibie saat itu bahkan telah menyampaikan permintaan maaf
resmi.
Data dari Tim Relawan Untuk Kemanusiaan juga mencatat 1.190 korban tewas dan
189 korban atau saksi mata perkosaan selama kerusuhan tersebut.
Pentingnya Sejarah Kelam bagi Generasi Muda
Bagi milenial dan Gen Z, Tragedi Mei 1998 mungkin terasa jauh, sebuah kisah
dari masa lalu yang hanya mereka baca di buku atau lihat di dokumenter.
Namun, esensi dari perdebatan ini sangat krusial. Sejarah, terutama bagian
yang kelam, berfungsi sebagai kompas moral bangsa.
Dengan mempelajari sisi gelap sejarah, generasi muda dapat memahami pemicu
dan dampak dari perpecahan, intoleransi, dan kekerasan. Ini adalah pelajaran
paling berharga agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan.
Selain itu, kaum muda juga bisa memahami penderitaan para korban, baik yang
kehilangan nyawa maupun yang hidup dengan trauma, dapat menumbuhkan rasa
empati dan solidaritas sosial yang kuat.
Puncaknya adalah, penyangkalan sejarah adalah bentuk ketidakadilan bagi para
korban dan keluarga mereka.
Dengan menjaga ingatan ini tetap hidup, generasi muda turut mengawal
tuntutan akan keadilan dan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Anies menutup pesannya dengan sebuah harapan besar untuk Fadli Zon dan
Kementerian Kebudayaan.
“Kami harap pak Menteri Kebudayaan akan menjaga integritas sejarah bangsa
dengan menyampaikan seluruh dan selengkapnya kebenaran, agar setiap capaian
menjadi kebanggaan dan setiap luka menjadi pelajaran,” pungkasnya.
Sumber:
suara
Foto: Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon, tengah menjadi sorotan karena ingin
menulis ulang sejarah nasional. Anies Baswedan mengkritik Fadli yang mencoba
menyangkal sejarah pemerkosaan massal saat kerusuhan Mei 1998. [Suara.com]
Artikel Terkait
Pidato di Rusia, Prabowo Klaim Pertumbuhan Ekonomi RI Dekati 7%
Dedi Mulyadi Omon-omon Kekuasaan
Resmi Diberlakukan tapi Tidak Semua ASN Bisa Ajukan WFA! Ini Ketentuan dan Syaratnya
Usut Dugaan Korupsi Kuota Haji, Eks Menag Yaqut Berpeluang Diperiksa KPK