Menarik! Telaah Mitos Sosial Terhadap Pemakzulan Wakil Presiden

- Senin, 30 Juni 2025 | 10:05 WIB
Menarik! Telaah Mitos Sosial Terhadap Pemakzulan Wakil Presiden


Menarik! Telaah 'Mitos Sosial' Terhadap Pemakzulan Wakil Presiden


Wacana pemakzulan Wakil Presiden Republik Indonesia kembali mencuat ke ruang publik, dipicu oleh inisiatif sekelompok purnawirawan TNI yang menyatakan adanya dugaan pelanggaran etika oleh sang pejabat negara. 


Meskipun masih dalam tahap aspirasi, desakan ini telah menggugah reaksi beragam, termasuk dari kalangan parlemen. 


Tulisan ini hendak menelaah gejala tersebut melalui kerangka teoritis mitos trauma sosial (Jalaluddin Rakhmat) dan cultural lag (William F. Ogburn & Meyer F. Nimkoff), sebagai upaya memahami dinamika sosial-politik di balik tuntutan tersebut.


Mitos Trauma: Ketakutan Kolektif terhadap Akselerasi Perubahan


Dalam Rekayasa Sosial, Jalaluddin Rakhmat mengemukakan bahwa salah satu mitos sosial yang hidup dalam masyarakat adalah bahwa perubahan selalu identik dengan trauma. 


Perubahan dipersepsikan menimbulkan tekanan emosional, ketidakstabilan mental, dan keresahan kolektif. 


Maka, bukan hal aneh bila perubahan politik tertentu memicu resistensi bukan karena substansinya, melainkan karena ia mengganggu tatanan psikologis dan emosional kelompok sosial tertentu.


Dalam konteks ini, wacana pemakzulan tidak dapat dilepaskan dari persepsi sebagian elite terhadap sosok wakil pemimpin nasional yang dianggap lahir dari proses yang belum sepenuhnya diterima publik secara moral. 


Mitos trauma ini muncul ketika perubahan—yang membawa wajah dan metode baru dalam kekuasaan—dianggap terlalu cepat, terlalu asing, dan terlalu mengancam tatanan lama.


Cultural Lag: Ketimpangan antara Struktur dan Budaya Politik


William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff memperkenalkan konsep cultural lag, yakni kondisi ketika perubahan pada struktur kebudayaan tidak diiringi oleh perubahan dalam sistem nilai dan kebiasaan sosial masyarakat. 


Indonesia pasca-reformasi 1998 telah mengalami restrukturisasi besar-besaran pada sistem politik dan ketatanegaraan. 


Konstitusi diamandemen, lembaga negara ditata ulang, bahkan demokrasi elektoral pun menguat secara prosedural.


Namun, perubahan itu belum diimbangi dengan evolusi dalam budaya politik. 


Norma patronase, fanatisme partisan, dan loyalitas terhadap figur masih menjadi ciri dominan. 


Dalam konteks ini, kemunculan pemimpin muda di jajaran eksekutif nasional memunculkan anomali dalam budaya kekuasaan yang terbiasa dengan senioritas dan linearitas hierarkis. 


Maka, bukan hanya soal hukum, yang terjadi adalah benturan antara perubahan struktural dan stagnasi budaya politik.


Krisis sebagai Konsekuensi Perubahan Sosial


Ogburn dan Nimkoff menjelaskan bahwa perubahan sosial kerap kali melahirkan krisis. Reaksi terhadap perubahan sering bersifat emosional dan disertai penolakan, terutama jika perubahan itu dirasakan mengganggu stabilitas yang sudah mapan. 


Bahkan dalam banyak kasus, perubahan sosial justru memperbesar penderitaan psikologis masyarakat, memicu kecemasan, dan mendorong lahirnya gejala-gejala sosial baru.


Jika dikaitkan dengan fenomena politik hari ini, resistensi terhadap keberadaan dan legitimasi Wakil Presiden dapat dilihat sebagai reaksi terhadap trauma sosial-politik yang belum selesai. 


Segmen masyarakat yang merasa bahwa nilai-nilai etik dan norma politik telah dilanggar, justru memperlihatkan gejala keterdesakan: ingin mengembalikan situasi ke arah stabilitas lama. 


Inilah yang menjelaskan mengapa proses pemakzulan—meskipun konstitusional—tetap memantik dinamika politik yang panas dan berlarut.


Keamanan Dasar dan Norma: Dua Sumbu Penolakan Perubahan


Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa perubahan tidak selalu melahirkan trauma. 


Ia hanya ditolak jika memenuhi dua kondisi: pertama, mengancam basic security atau rasa aman individu/kelompok; kedua, bertentangan dengan norma sosial dan etika kolektif. 


Dalam fenomena ini, dua kutub terbentuk: satu pihak merasa perubahan dalam struktur kekuasaan nasional mengganggu kualitas demokrasi yang dibangun pascareformasi; pihak lain melihat keberadaan wakil pemimpin tersebut sebagai produk sah dari demokrasi yang telah berlangsung.


Kedua pihak merasa berada dalam kondisi defensif. Pihak yang merasa tatanan moral politik dilanggar menyatakan perlawanan atas dasar etika. 


Sementara yang berada di lingkaran kekuasaan merasa perlu mempertahankan posisi sebagai bagian dari konsistensi sistem. 


Ketegangan ini menciptakan suasana politik yang menyerupai medan kontestasi ideologis yang tak mudah didamaikan.


Syariati dan Muthahhari: Siapa yang Menolak Perubahan?


Ali Syariati, dalam tafsir sosial atas Al-Qur’an, menyebut bahwa elite kapitalis atau kelompok kaya sering menjadi penentang perubahan karena merasa kehilangan posisi dominan. 


Namun Murtadha Muthahhari memberikan catatan korektif: penentang perubahan bukan terbatas pada kapitalis, melainkan siapa saja yang merasa kepentingan, posisi, atau simbol statusnya terganggu oleh hadirnya tatanan baru.


Dengan kacamata ini, reaksi terhadap Wakil Presiden hari ini bukan semata karena persoalan legal-formal, tapi juga berkaitan dengan perasaan terganggunya tatanan simbolik kekuasaan. 


Ketika aktor-aktor baru muncul dalam panggung kekuasaan tanpa melewati seleksi moral atau etis yang disepakati bersama, maka resistensi yang muncul bisa berbentuk gerakan kolektif, seperti aspirasi pemakzulan.


Penutup: Menakar Arah Demokrasi dalam Kabut Trauma


Wacana pemakzulan bukanlah gejala politik yang berdiri sendiri. Ia merepresentasikan ketegangan antara arus perubahan dan ketakutan terhadap ketidakteraturan. 


Mitos trauma sosial, cultural lag, serta krisis nilai yang menyertainya menandai bahwa demokrasi kita masih berjalan di atas fondasi yang belum kokoh secara budaya.


Jika elite politik dan masyarakat terus menanggapi perubahan dengan ketakutan dan resistensi emosional, maka arah demokrasi akan terus mengalami turbulensi. 


Proses pemakzulan yang konstitusional seharusnya tidak menjadi alat resistensi terhadap perubahan, tetapi justru menjadi koreksi sistem yang dilakukan dengan jernih, legal, dan objektif—bukan sebagai pelampiasan trauma sosial-politik yang belum tuntas. ***


Sumber: Kumparan

Komentar