Jenazah gelagapan. Mulutnya diam, tapi matanya panik.
Ia ingin memanggil staf ahli atau jubir, tapi di sini tidak berlaku protokol istana.
Tidak ada buzzer, tidak ada ajudan, tidak ada paspampres.
Hanya ada tanah, cacing, dan malaikat yang sabar tapi tajam.
“Eee… saya… itu ada di sekolah saya,” bisiknya pelan.
Malaikat mengerutkan alis.
“Sekolahmu bilang tak kenal kamu. Alumni angkatanmu bilang kamu bukan teman sekelas. Dosennya bilang tidak pernah lihat kamu. Kampusnya bilang ijazahmu hasil sablon. Gimana ini, Jok?”
Jenazah terdiam. Ia mencoba tersenyum seperti saat di konferensi pers.
Tapi di sini, senyum tidak menyelamatkan. Tidak bisa pura-pura lupa. Tidak bisa bilang, “Tanyakan ke menteri saja.”
“Maaf,” kata malaikat tegas, “surga tidak menerima kebohongan berjenjang. Kami menerima petani jujur, bukan pejabat penuh sandiwara.”
Jenazah mulai menangis. Bukan karena takut neraka, tapi karena akhirnya ia tahu: selama ini ia hidup dalam skenario besar.
Dimahkotai oleh kebohongan, dijaga oleh manipulasi, disanjung oleh kekuasaan yang dibangun dari lem perekat: ijazah palsu.
“Boleh banding?” tanyanya penuh harap.
“Boleh. Silakan urus surat keterangan dari rektor. Tapi ingat, rektormu sudah wafat 20 tahun lalu. Dan dia masuk surga. Tidak bisa disuap.”
Jenazah tertunduk. Ia tahu, inilah pengadilan tanpa intervensi. Tidak bisa disetting.
Tidak bisa pakai pengacara. Tidak bisa main drama.
Sementara itu, dari jauh terdengar suara gamelan dibunyikan untuk upacara kenegaraan di bumi. Tapi di sini, yang terdengar hanya satu suara:
“Maaf, Jok. Anda gagal verifikasi. Dan yang Anda palsukan bukan hanya ijazah, tapi seluruh kepercayaan rakyat.”
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Jokowi Ternyata Tinggal di Kampung Palu Arit Solo, Begini Kisah Masa Kecilnya yang Diungkap Warga
Keluarga Dina Oktaviani: Heryanto Rencanakan Pembunuhan dan Pelecehan, Harus Dihukum Mati!
Prabowo Gebuk Jokowi? Posisi Purbaya dan Dominasi Geng Solo Dipertanyakan
Siapa yang Harus Tanggung Jawab atas Utang Kereta Cepat Indonesia?