Dari Edhy Prabowo (ekspor benur), Juliari Batubara (korupsi bansos COVID-19), Johnny G. Plate (skandal BTS 4G), hingga Nadiem Makarim (korupsi pengadaan Chromebook).
Rangkaian kasus ini menunjukkan betapa lemahnya komitmen pemerintahan Jokowi dalam pemberantasan korupsi, bahkan menjadikan periode ini sebagai salah satu yang terbanyak menteri terseret korupsi pasca-reformasi.
Fenomena tersebut tak lepas dari cengkeraman oligarki yang menjadi fondasi kekuasaan Jokowi.
Kabinet dibentuk bukan berdasarkan kapasitas, melainkan kompromi politik, kepentingan pemilik modal, bahkan demi memperkuat dinasti.
Proyek-proyek strategis hanyalah instrumen untuk menumpuk modal segelintir orang, sementara rakyat menanggung utang, kehilangan tanah, hingga mengalami kerusakan sosial-ekologis.
Di bidang demokrasi, jejak Jokowi juga meninggalkan luka mendalam.
Ruang kebebasan sipil dipersempit, aktivis dikriminalisasi, media dikooptasi, lembaga hukum dipelintir untuk menjaga kekuasaan.
Puncaknya, putra Jokowi, Gibran Rakabuming, bisa melenggang menjadi calon wakil presiden berkat putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang saat itu dipimpin oleh iparnya sendiri.
Peristiwa ini menelanjangi bagaimana institusi negara digunakan untuk melanggengkan kekuasaan keluarga.
Kondisi ini mengingatkan pada pola Orde Baru di bawah Soeharto: kekuasaan dijaga dengan represi, hukum dipelintir, dan rakyat yang menanggung akibat.
Bedanya, setelah 32 tahun berkuasa, Soeharto lengser tanpa pernah benar-benar diadili.
Luka sejarah itu dibiarkan terbuka, menciptakan preseden impunitas yang kini berulang.
Bahaya terbesar dari membiarkan Jokowi lolos tanpa diadili bukan hanya pada utang yang menumpuk atau proyek gagal yang membebani rakyat.
Lebih dari itu, akan lahir pesan berbahaya bagi generasi berikutnya: kekuasaan boleh disalahgunakan, hukum bisa dipelintir, rakyat bisa ditekan—asal kursi kekuasaan tetap aman.
Karena itu, mengadili Jokowi bukanlah soal dendam atau sekadar amarah.
Ini adalah keberanian untuk menegakkan preseden bahwa seorang presiden pun tidak boleh kebal hukum.
Kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, dan siapa pun yang menyalahgunakan amanah rakyat harus bertanggung jawab.
Jika kita gagal menuntut pertanggungjawaban, sejarah hanya akan berulang.
Tapi jika Jokowi berani kita adili, pesan yang lahir sederhana namun kuat: kekuasaan adalah amanah rakyat, bukan hak istimewa. ***
Artikel Terkait
Pengusaha Pekalongan Rugi Rp 2,6 Miliar! Modus Tipu Janjikan Anak Masuk Akpol Jalur Khusus
KPK Endus Tambang Emas Ilegal Milik Pengusaha China di Dekat Sirkuit Mandalika, Begini Faktanya!
Anak Menkeu Sindir Demo Mahasiswa: Dibayar, Nanti Jadi Tersangka Korupsi!
Bertarung dengan 3 Harimau, Kisah Pencari Damar di Inhu yang Selamat dari Maut