Kenapa Harus Adili Jokowi?

- Minggu, 07 September 2025 | 08:45 WIB
Kenapa Harus Adili Jokowi?


'Kenapa Harus Adili Jokowi?'


Oleh: Deodatus Sunda Se (Dendy)

Direktur Institut Marhaenisme 27


Selama sepuluh tahun memimpin, Jokowi membungkus pemerintahannya dengan narasi besar: ekonomi tumbuh, pembangunan merata, dan jalan tol di mana-mana sebagai simbol kemajuan. 


Namun, di balik gemerlap itu, pembangunan berjalan tanpa arah kebangsaan—lebih sibuk melayani kepentingan investor, menambah beban utang negara, dan membuat hidup rakyat makin terhimpit. 


Karena itu, warisan Jokowi tak bisa sekadar dinilai sebagai kegagalan kebijakan. 


Ia merupakan bentuk penyalahgunaan kuasa, sebuah kesalahan yang menuntut pertanggungjawaban politik, hukum, sekaligus moral.


Ledakan utang negara menjadi potret paling jelas arah pembangunan era Jokowi. 


Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, per Juni 2024 jumlahnya mencapai Rp 8.444,87 triliun atau sekitar 39 persen dari PDB. 


Angka ini melonjak hampir 224 persen dibanding tahun 2014 ketika ia baru dilantik. 


Ironisnya, utang besar itu tidak diarahkan untuk memperkuat sektor strategis rakyat—pangan, energi, kesehatan—tetapi justru digelontorkan ke proyek mercusuar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kereta cepat Jakarta–Bandung, yang sejak awal sarat kepentingan politik dan investor.


Proyek IKN dengan estimasi biaya Rp 466 triliun adalah contoh nyata. Hingga tahap pertama saja sudah habis Rp 151 triliun, mayoritas dari APBN. 


Namun, pada 2026 Kementerian PUPR justru berencana menarik diri karena anggaran yang tersedia jauh dari kebutuhan.


Alih-alih jadi solusi ketimpangan pembangunan, IKN justru menjadi simbol pemborosan, buruknya perencanaan, dan utang yang akan diwariskan kepada rakyat. 


Pola serupa terlihat pada kereta cepat Jakarta–Bandung: dari estimasi awal Rp 66,7 triliun, biaya membengkak menjadi Rp 114,24 triliun, dan lagi-lagi APBN harus menutupinya.


Di ranah regulasi, Omnibus Law Cipta Kerja menjadi warisan paling bermasalah. 


Alih-alih melindungi buruh dan rakyat kecil, UU ini justru memberi karpet merah bagi investor, melemahkan posisi pekerja, mempermudah izin lingkungan, dan meresmikan praktik upah murah. 


Proses pengesahannya pun cacat prosedur hingga dinyatakan inkonstitusional. 


Tak hanya itu, Omnibus Law juga menjadi payung hukum bagi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang justru memicu ratusan konflik agraria.


Di sisi lain, dekade kepemimpinan Jokowi juga diwarnai oleh maraknya kasus korupsi menteri. 

Halaman:

Komentar