'Kok Bisa Ya Jadi Pemimpin Indonesia Hasil Nipu?'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Republik ini lahir dengan janji.
Kita menyebutnya merdeka, sebuah kata yang bukan hanya berarti lepas dari penjajahan, melainkan juga tegak di atas kejujuran.
Merdeka adalah pernyataan moral: rakyat berhak hidup tanpa penipuan.
Namun, sejarah bangsa sering memperlihatkan hal lain.
Kita diajak percaya pada pemimpin, tapi acap kali yang kita lihat bukan wajah, melainkan topeng.
Belakangan, ramai dibicarakan soal ijazah.
Tentang dokumen yang seharusnya sederhana—tanda seseorang pernah menempuh jalan pendidikan.
Tapi justru dari situ lahir gosip, gugatan, bahkan persidangan: benarkah ijazah itu sahih? Ataukah hanya sebuah rekayasa?
Bila kabar itu benar, sungguh ironis.
Tapi bahkan jika kabar itu salah, kenyataan bahwa publik bisa begitu mudah percaya menyingkap hal yang lebih dalam: ada ketidakpercayaan yang mengendap lama pada republik ini.
Kita seakan terbiasa dengan kemungkinan bahwa pemimpin bisa berdiri di atas sesuatu yang palsu.
Di sini, politik tak lagi tegak pada integritas. Ia tegak pada kemampuan mengelabui. Pada retorika.
Pada jaring kuasa. Sebuah ijazah palsu hanyalah lambang dari sesuatu yang lebih besar: hilangnya fondasi moral.
Sejarah kita pernah mengenal pola yang sama. Di masa Orde Baru, Soeharto membangun kekuasaan dengan bahasa pembangunan.
Angka-angka ekonomi dipoles, cerita stabilitas diperdengarkan. Tapi di baliknya, represi dan korupsi berlangsung.
Itu juga sebuah kepalsuan, tapi yang lebih canggih: bukan pada dokumen pendidikan, melainkan pada narasi tentang kemajuan. Bedanya hanya skala, bukan substansi.
Mungkin inilah ironi bangsa yang cepat melupakan. Kita jatuh ke dalam perangkap yang sama: membiarkan kepalsuan menjadi bagian dari hidup bersama.
Bahkan ketika sudah tahu, kita sering memilih diam. Seakan kebenaran tak pernah mendesak, hanya sekadar hiasan di ruang pidato.
“Rakyat adalah hakim tertinggi,” kata konstitusi tak tertulis kita. Tapi hakim macam apa jika ia tak berani memeriksa?
Di bilik suara, kita lebih sering terjebak pada rasa aman palsu: memilih karena popularitas, karena survei, karena uang.
Kita lupa, demokrasi bukanlah soal memilih siapa yang paling kuat berbohong, tapi siapa yang paling tulus mempertanggungjawabkan diri.
Goethe pernah menulis: kebohongan bisa berjalan jauh, tapi tak bisa terbang.
Ia mungkin bertahan sebentar, tapi pada akhirnya jatuh juga oleh beratnya sendiri.
Pertanyaannya: ketika kebohongan itu jatuh, siapa yang ikut terhempas? Bukan hanya sang pemimpin, melainkan seluruh rakyat yang pernah percaya.
Barangkali republik ini memang hidup dalam kontradiksi. Kita mencita-citakan pemimpin yang jujur, tapi kita juga sering memberi ruang pada penipu.
Kita mendambakan demokrasi, tapi kita pun terbuai pada sandiwara.
Pertanyaan “kok bisa ya pemimpin lahir dari sesuatu yang palsu?” pada akhirnya bukan hanya ditujukan pada mereka yang berkuasa.
Pertanyaan itu juga menyorot kita, rakyat yang membiarkannya.
Seperti duri kecil yang tak pernah hilang dari tubuh, pertanyaan itu akan tetap menusuk: adakah kita bangsa yang diam-diam sudah berdamai dengan kepalsuan?
Catatan Kaki
Mungkin kita memang bangsa yang lebih pandai memaafkan daripada mengingat. Kita mudah tersenyum pada penipu, asal ia pandai memainkan peran.
Tapi sejarah punya cara sendiri untuk mencatat. Ia tak pernah menulis dengan tinta yang bisa dihapus. Ia menulis dengan luka.
Dan luka itu, cepat atau lambat, akan menuntut jawab. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Ketua DPR Filpina Mundur Usai Terseret Skandal Korupsi
KPU Rahasiakan Ijazah Capres dan Cawapres, Hotman Paris: Mau Lindungi Seseorang?
Dito Ariotedjo Senggol Ijazah Erick Thohir di Depan Roy Suryo
Satu Lagi Orang Hilang usai Demo Ditemukan, Ternyata Merantau jadi Nelayan di Kalteng