'Potensi Anies Baswedan Reborn di Tengah Gejolak Politik'
Oleh: Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
“Jangan biarkan negara tanpa oposisi”, begitu nasehat orang bijak. Nasehat ini mengingatkan kita pada apa yang pernah diucapkan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, obsolut power corrups absolutly”.
Kekuasaan akan selalu dihadapkan pada godaan untuk menyimpang. Karena itu, perlu oposisi yang melakukan kontrol.
Siapa yang bertugas kontrol penguasa? Yang pasti bukan DPR. Mayoritas anggota DPR dalam posisi sebagai bagian dari partai koalisi.
Yang terjadi, peran DPR dikendalikan oleh ketum partai. Ketum partai dikendalikan oleh presiden. Tidak mungkin orang yang dikendalikan akan mengontrol pengendalinya.
Di sinilah sistem demokrasi berbasis pembagian otoritas ala trias politika Montesquieu tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Yang terjadi bukan pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) berdasarkan fungsi-fungsi utamanya, tapi justru pengendalikan eksekutif terhadap legislatif dan yudikatif. Presiden sebagai pihak yang mengontrol, bukan dikontrol.
Dalam sistem negara yang sehat, oposisi diperlukan. Ketika oposisi struktural tidak berfungsi, maka harus digantikan oleh oposisi di luar struktur. Siapa saat ini yang bisa ambil peran untuk menjadi oposisi non struktural?
Setelah kekuatan Jokowi meredup, tersisa kekuatan di polri yang hingga hari ini presiden masih belum berani mencopot kapolri, maka negara perlu tokoh oposisi di luar Jokowi.
Menyebut nama Jokowi sebagai tokoh oposisi memunculkan tiga pertanyaan.
Pertama, Jokowi sudah pensiun, ngapain cawe-cawe dan jadi oposisi? Jawabnya singkat: Jokowi punya sejumlah generasi yang nasibnya ada di pundaknya.
Kedua, bukannya Gibran, putra Jokowi berada di dalam kekuasaan, kenapa Jokowi malah jadi oposisi? Betul ! Dalam formasi kekuasaan Prabowo, Gibran tidak diberi peran.
Ketika wapres tidak berfungsi, maka konsentrasinya akan bergeser: bagaimana mengambil alih dan mengganti posisi presiden.
Ketiga, Jokowilah yang menjadikan Prabowo presiden, kenapa harus oposisi?
Yang seringkali orang lupa bahwa politik itu dinamis. Semua bisa berubah seiring berubahnya situasi dan arah politik.
Prabowo beda arah politik dengan Jokowi. Prabowo ingin jadi presiden seutuhnya hingga dua periode.
No intervensi. Tapi, Jokowi ingin mendapatkan bagian keuntungan dari saham yang ia tanam di pemilu 2024.
Apa yang diinginkan Jokowi? Terlibat dalam kebijakan negara. Faktanya, untuk bertemu Prabowo saja, Jokowi kesulitan.
Di sisi lain, putra mahkota Jokowi masih muda, dan tentu “secara natural” disiapkan untuk menjadi presiden pengganti Prabowo. Tapi, persiapan ini punya kendala kendala serius. Dan kendala itu ada di istana.
Terdown-grade-nya Jokowi membuat relasi oposisionalnya melemah. Jokowi semakin terpinggirkan dengan sisa-sisa kekuatan yang terus digerus. Para punokawan Jokowi di kabinet satu persatu kena resuffle. Hengkang !
Ketika kekuatan Jokowi terus melemah, siapa yang akan mengimbangi penguasa? Ini pertanyaan fundamental yang seringkali terabaikan oleh gemerlapnya eforia kekuasaan.
Hanya tinggal dua partai yang berada di luar kekuasaan yaitu Nasdem dan PDIP. Nasdem sepertinya sibuk dngan agenda jangka panjangnya.
Setidaknya untuk persiapan pemilu 2029. Dalam diamnya, Nasdem seperti sedang serius menyusun strategi untuk 2029.
Sementara PDIP? Kita tunggu, tidak terlalu lama lagi PDIP kemungkinan akan menunjukkan wajah oposisionalnya setelah Budi Gunawan dicopot dari Menkopolhukam.
PDIP sedang menunggu momentum yang tepat untuk kembali meramaikan arena publik. Saat ini, PDIP sedang “puasa bicara” dan mengumpulkan energi.
Di tengah kekosongan oposisi dengan diamnya Nasdem dan PDIP, siapa yang potensial untuk tampil?
Publik berharap Anies Baswedan mengambil peran oposisi. Anies adalah tokoh yang menjadi rival Prabowo di pilpres 2024.
Anies masih memiliki basis massa yang solid dan solidaritas pendukungnya cukup kuat.
Fakta ini bisa dilihat dari animo publik yang selalu antusias di event-event yang dihadiri Anies. Panggung Anies masih terus hidup dengan menampilkan performence Anies layaknya seorang hero.
Hingga hari ini, Anies masih cukup konsisten untuk tetap kritis dan mengambil jarak dengan kekuasaan. Begitu juga dengan mayoritas para pendukungnya.
Ormas “Gerakan Rakyat” adalah bentuk nyata dari solidaritas yang menunjukkan masih hidupnya panggung dan eksistensi Anies.
Konsistensi Anies dan pendukungnya dalam mengambil peran oposisi ini penting terutama pertama, untuk mengisi kekosongan dimana tidak ada lagi oposisi kritis kepada penguasa saat ini. Kedua, situasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Terutama soal ekonomi, dunia sedang mengalami guncangan. Turbulensi ekonomi juga terjadi di Indonesia.
Daya beli rendah, begitu juga pertumbuhan ekonomi. Kondisi fiskal diragukan, meski Menkue Purbaya sedang giat bermanuver dengan mengeluarkan anggaran untuk belanja perbank-an.
Kebijakan menaikkan belanja untuk meyakinkan rakyat bahwa fiskal kita aman tampak paradoks ketika di sisi lain terjadi kebijakan efisiensi dan kondisi rupiah yang terus melemah. Ini bisa menjadi ancaman krisis.
Terjadinya pemangkasan besar-besaran Dana Bagi Hasil (DBH) untuk daerah.
Baik untuk anggaran 2025, dan lebih parah lagi pemangkasan DBH tahun 2026 yang hampir 85 persen memperkuat pradoks itu.
Kondisi ekonomi dan moneter yang tidak sedang baik-baik saja berpotensi melahirkan resistensi.
Jika ada salah kelola atau sedikit gejolak, maka sesuatu yang un-predictable bisa terjadi.
Disinilah kehadiran oposisi dibutuhkan untuk menjaga negara agar tidak lupa, lalu tersesat dan terdorong terciptanya gejolak sosial dan politik.
Jika terjadi gejolak, ini akan memberi ruang kembali kepada Anies untuk tampil. Anies masih dianggap tokoh yang diyakini mampu mengurus negara ini.
Di sisi lain, Anies dikenal sebagai icon perubahan dan tempat dimana publik Indonesia menaruh harapan dan optimismenya. ***
Artikel Terkait
Sepekan Gunung Merapi 88 Kali Semburkan Lava
Viral Aksi Copet di Depan Gubernur Pramono, Gasak Ponsel Pegawai Pemprov
Pesawat Air India Jatuh Tewaskan 260 Orang, Pilot Disebut Sengaja Matikan Tombol Bahan Bakar
Sindir PSI Gagal Lolos Parlemen, Nasdem: Kami Senang Eks Kader Kami Dipakai