Anthony melakukan perbandingan mendalam antara proposal Jepang dan China. "Jika dibandingkan dengan nilai yang diajukan Jepang dengan pembayaran cicilan pokok selama 40 tahun, dibanding China dengan metode yang sama juga, 10 tahun grace period dengan 40 tahun cicilan terdapat pokok kerugian karena kemahalan pengalihan proyek ke China sebesar 4,5 miliar dolar," jelasnya.
Dugaan Markup Harga yang Tidak Wajar
Lebih lanjut, Anthony menyoroti dugaan markup harga dari 4,5 miliar dolar per kilometer menjadi 6,07 miliar dolar per kilometer. Angka ini jauh lebih mahal dibandingkan proyek sejenis seperti Kereta Cepat Shanghai-Hangzhou.
"Kalau dengan 4 miliar saja, yaitu per kilometernya untuk Jakarta-Bandung, itu sekitar 28 juta US dollar lebih. Jadi sudah lebih tinggi dari 22 juta US dollar biaya pembangunan kereta cepat Shanghai dan Hangzhou," paparnya.
Desakan untuk Ditangani KPK
Mengingat besarnya potensi kerugian negara, Anthony menegaskan bahwa kasus dugaan korupsi Whoosh harus diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terutama dengan adanya Perpres 89/2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat.
"Ini adalah mengenai penjaminan. Ini mengenai bahwa memberikan payung hukum bahwa APBN boleh digunakan untuk kereta cepat," pungkas Anthony, seraya meminta ahli hukum untuk mengevaluasi kembali kasus ini.
Artikel Terkait
Bimteknas PKS 2025: Strategi Penguatan Pejabat Publik untuk Pelayanan Inovatif
Puan Maharani Soroti Utang Kereta Cepat Whoosh, DPR Bakal Bahas Tuntas
Respons Said Didu soal Pernyataan Prabowo Tanggung Jawab Whoosh: Cabut Taring Purbaya?
Update Bansos & BLTS Triwulan IV 2025: Data Penerima Baru Difinalisasi